Rabu, 04 Mei 2016

Kisah Shahih : Maut Disembelih Diantara Surga Dan Neraka

A. Pengantar

Sunnah Nabawiyyah sebagai penjelas kitab suci Al-Qur’an telah membahas secara gamblang tentang masalah-masalah “ilmu ghaib” yang berada di luar alam kita seperti Malaikat, Jin, Arsy, Kursi dan sebagainya. Sunnah juga membahas secara detail tentang kejadian setelah kematian berupa nikmat dan siksa kubur, kebangkitan hari kiamat, syafa’at, timbangan, shirat, surga, neraka dan sebagainya. Semua ini telah dibahas tuntas dalam Sunnah Nabawiyyah Shahihah sehingga tiada peluang bagi seseorang untuk ragu-ragu dalam masalah ini.

Sebagai seorang muslim sejati, kita harus pasrah menerima hadits-hadits shahih tersebut dan tidak mementahkannya hanya karena tidak diterima oleh logika kita atau dimustahilkan oleh akal pikiran kita. Kita semua tahu bahwa manusia pada zaman sekarang ini telah mampu membuat berbagai kecanggihan teknologi yang seandainya saja diberitakan kepada salah seorang yang hidup dahulu kala, niscaya dia akan memustahilkannya dan mungkin menvonis penceritanya sebagai orang gila. Kalau demikian, lantas bagaimana dengan kemampuan Allah, Dzat Yang tidak ada sesuatupun di langit dan di bumi yang dapat mengalahkannya?!!

Oleh karenanya para ulama menegaskan bahwa agama mungkin saja datang dengan sesuatu yang membuat bingung akal seorang, tetapi tidak mungkin dia datang dengan sesuatu yang dimustahilkan akal. Dari sinilah maka tidak mungkin dalil bertentangan dengan akal selama-lamanya. Apabila ada yang terkesan demikian, maka perlu dikoreksi, kemungkinan dalilnya yang tidak shahih, atau dalil akalnya yang tidak benar. (Lihat Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah Dr. Yusuf al-Qardhawi hal. 173)


B. TAKHRIJ HADITS

Ketahuilah wahai saudaraku tercinta -semoga Allah selalu memberkahi anda- bahwa hadits pembahasan kita ini derajatnya adalah SHAHIH tanpa sedikitpun keraguan di dalamnya, diriwayatkan oleh para ulama terpercaya dari sahabat Abu Said al-Khudri, Abdullah bin Umar, Abu Hurairah, Anas bin Malik dan sebagainya. Berikut keterangannya:

Riwayat Abu Sa’id al-Khudri

عَنْ أَبِيْ سَعِيْدٍ الْخُدْرِيِّ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ كَهَيْئَةِ كَبْشٍ أَمْلَحٍ فَيُنَادِي بِهِ مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقًُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ, وَكُلُّهُمْ قَدْ رَآهُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَشْرَئِبُوْنَ وَيَنْظُرُوْنَ, فَيَقُوْلُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ, هَذَا الْمَوْتُ وَكُلُّهْمْ قَدْ رَآهُ فَيُذْبَحُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يَقُوْلُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, وَيَا أَهْلَ النَّارِ خُلُوْدٌ فَلاَ مَوْتَ, ثُمَّ قَرَأَ (وَأَنْذِرْهُمْ يَوْمَ الْحَسْرَةِ إِذْ قُضِيَ الأَمْرُ وَهُمْ فِيْ غَفْلَةٍ وَهُمْ لاَ يُؤْمِنُوْنَ) وَأَشَارَ بِيَدِهِ إِلَى الدُّنْيَا
Dari Abu Sa’id al-Khudri berkata: Rasulullah bersabda: “Kematian didatangkan pada bentuk kambing berkulit hitam putih, lalu seorang penyeru memanggil: Wahai penduduk surga! Mereka menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya. Kemudian penyeru memanggil: Wahai penduduk neraka! Mereka menengok dan melihat, penyeru itu berkata: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, mereka semua telah melihatnya, lalu disembelih diantara surga dan neraka, lalu berkata: Wahai penduduk surga, kekekalan tiada kematian setelahnya, dan hai penduduk neraka, kekekalan dan tiada kematian setelahnya, lalu beliau membaca (Dan berilah mereka peringatan tatkala ditetapkan perkara sedangkan mereka dalam kelalaian dan mereka tidak beriman). Dan beliau mengisyaratkan dengan tangannya ke dunia.

SHAHIH. Diriwayatkan: Bukhari 4730, 6549, Muslim 2849, Ahmad 3/9, Tirmidzi 3156, Nasai dalam Sunan Kubra 11316, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4366 dan Ma’alim Tanzil 1/232, al-Ajurri dalam asy-Syari’ah 944, Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/184, ath-Thabari dalam Jamiul Bayan 16/87, al-Baihaqi dalam al-Ba’tsu wa Nusyur 640, Abdu bin Humaid dalam al-Muntakhab 912.

*         Tirmidzi berkata: “Hadits ini hasan shahih”
*         Al-Baghawi berkata: “Hadits ini disepakati keshahihannya”.

Riwayat Abdullah bin Umar

عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : إِذَا صَارَ أَهْلُ الْجَنَّةِ إِلَى الْجَنَّةِ وَأَهْلُ النَّارِ إِلَى النَّارِ جِيْءَ بِالْمَوْتِ حَتَّى يُجْعَلَ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُذْبَحُ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ لاَ مَوْتَ وَيَا أَهْلَ النَّارِ لاَ مَوْتَ فَيَزْدَادُ أَهْلُ الْجَنَّةِ فَرَحًا إِلَى فَرَحِهِمْ وَيَزْدَادُ أَهْلُ النَّارِ حُزْنًا إِلَى حُزْنِهِمْ
Dari Ibnu Umar berkata: Rasulullah bersabda: “Apabila penduduk surga telah memasuki surga dan penduduk neraka memasuki neraka, maka didatangkan kematian lalu diletakkan diantara surga dan neraka kemudian disembelih kemudian diserukan oleh penyeru: Wahai enduduk surga tiada kematian lagi dan wahai penduduk neraka tiada kematian lagi. Penduduk surga semakin bertambah kegembiraan mereka dan penduduk neraka semakin bertambah kesedihan mereka”.

SHAHIH. Diriwayatkan: Bukhari 6548, Muslim 2850, Ahmad 2/118, 120, 121, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam Kabir 13337, Abu Nuaim dalam Hilyah Auliya’ 8/183-184, al-Baghawi dalam Syarh Sunnah 4367, Ibnu Adi dalam al-Kamil 5/1680, al-Baihaqi dalam al-Ba’ts wa Nusyur 642

*         Al-Baghawi berkata: “Hadits disepakati keshahihannya”.

Riwayat Abu Hurairah

عَنْ أَبِيْ هُرَيْرَةَ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ اللهِ صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَيُوْقَفُ عَلىَ الصَّرَاطِ فَيُقَالُ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَطَلَّعُوْنَ خَائِفِيْنَ وَجِلِيْنَ أَنْ يَخْرُجُوْا مِنْ مَكاَنِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, ثُمَّ يُقَالُ : يَا أَهْلَ النَّارِ فَيَطَلَّعُوْنَ مُسْتَبْشِرِيْنَ فَرِحِيْنَ أَنْ يَخْرُجٌوْا مِنْ مَكَانِهِمْ الَّذِيْ هُمْ فِيْهِ, فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ قَالُوْا : نَعَمْ,  هَذَا الْمَوْتُ, قَالَ : فَيُؤْمَرُ بِهِ فَيُذْبَحُ عَلَى الصِّرَاطِ ثُمَّ يُقَالُ لِلْفَرِيْقَيْنِ كِلاَهُمَا : خُلُوْدٌ فِيْمَا يَجِدُوْنَ لاَ مَوْتَ فِيْهَا أَبَدًا
Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat lalu diletakkan di atas shirat (jembatan) lalu diserukan: Wahai penduduk surga! Mereka mengintip ketakutan untuk keluar dari tempat mereka. Kemudian dikatakan: Wahai penduduk neraka! Mereka mengintip penuh gembira dengan harapan keluar dari tempat mereka, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, ini adalah kematian, kemudian diperintahkan untuk disembelih di atas shirat dan dikatakan kepada kedua golongan tersebut: Kekekalan apa yang kalian dapati, tiada kematian di dalamnya selama-lamnya.

HASAN SHAHIH. Diriwayatkan: Ahmad 2/261, Ibnu Majah 4327, Ibnu Hibban dalam Shahihnya 7450, al-Hakim dalam al-Mustadrak 1/83, ad-Darimi 2814, al-Ajurri dalam Asy-Syari’ah 941, Abu Ishaq bin Harb dalam Musnad Abu Hurairah 6, Abdu bin Humaid dan Ibnu Mardawaih sebagaimana dalam ad-Durr Mantsur 1/102 oleh as-Suyuthi.

*         Al-Hakim berkata: “Hadits ini shahih, sesuai syarat Muslim”.
*         Al-Mundziri dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Ibnu Majah dengan sanad jayyid (bagus)”.
*         Syaikh al-Albani berkata dalam Shahih Ibnu Majah: “Hasan Shahih”.

Riwayat Anas bin Malik

عَنْ أَنَسٍ رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُوْلُ الله صلى الله عليه وسلم : يُؤْتَى بِالْمَوْتِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُ كَبْشٌ أَمْلَحٌ فَيُوْقَفُ بَيْنَ الْجَنَّةِ وَالنَّارِ ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ الْجَنَّةِ ! فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا, قَالَ : فَيُقَالُ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا, هَذَا الْمَوْتُ, ثُمَّ يُنَادِي مُنَادٍ : يَا أَهْلَ النَّارِ ! فَيَقُوْلُوْنَ : لَبَّيْكَ رَبَّنَا,  قَالَ : فَيُقَالُ لَهُمْ : هَلْ تَعْرِفُوْنَ هَذَا ؟ فَيَقُوْلُوْنَ : نَعَمْ رَبَّنَا,  هَذَا الْمَوْتُ, فَيُذْبَحُ كَمَا تُذْبَحُ الشَّاةُ فَيَأْمَنُ هَؤُلاَءِ وَيَنْقَطِعُ رَجَاءُ هَؤُلاَءِ
Dari Anas bin Malik berkata: Rasulullah bersabda: Kematian didatangkan pada hari kiamat seakan kambing berkulit hitam putih lalu diletakkan diantara surga dan neraka dan diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk surga! Mereka mengatakan: Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian. Kemudian diserukan oleh penyeru: Wahai penduduk neraka! Mereka mengatakan: Kami penuhi panggilanmu wahai Rabb kami, lalu dikatakan: Apakah kalian mengenal ini? Mereka menjawab: Ya, wahai Rabb kami, ini adalah kematian, kemudian disembelih sebagaimana kambing disembelih, maka mereka (penduduk surga) merasa aman dan mereka (penduduk neraka) putus harapan mereka.

SHAHIH. Riwayat: Abu Ya’la dalam Musnadnya 5/278, ath-Thabrani dalam al-Mu’jam al-Ausath 3672, al-Bazzar 3557 -Kasyful Astar-

*         Al-Haitsami berkata: “Para perawinya perawi shahih kecuali Khalid ath-Thahi dan dia tsiqah (terpercaya)”.
*       Al-Mundziri berkata dalam at-Targhib wa Tarhib 3/1394: “Riwayat Abu Ya’la, Thabrani, al-Bazzar dan sanad mereka shahih”. Dan disetujui al-Albani dalam Shahih Targhibnya.

Walhasil, sebagaimana yang kita lihat, hadits ini derajatnya shahih, diriwayatkan oleh para ulama hadits terpercaya dalam kitab-kitab mereka.

C. MENYINGKAP TIRAI SYUBHAT

Setelah membawakan dua hadits di atas dari riwayat Ibnu Umar dan Abu Sa’id al-Khudri, penulis Kaifa Nata’amal Ma’a Sunnah Nabawiyyah hal. 160-161 membuat suatu pertanyaan meragukan: “Tahukah anda bagaimana cara memahami hadits ini? Bagaimana kematian disembelih? Ataukah kematian mengalami mati?

Al-Qadhi Abu Bakar bin al-Arabi berkata: “Hadits ini dianggap rumit karena bertentangan dengan logika karena kematian adalah sifat dan sifat tidak berubah menjadi dzat, lantas bagaimana kok disembelih? Oleh karenanya sebagian kelompok mementahkan keabsahan hadits ini dan menolaknya. Kelompok lainnya mentakwil (menafsirkan tidak sesuai dhahirnya) seraya mengatakan: “Ini adalah majaz (kata kiasan) bukan hakekat sebenarnya”. Lainnya lagi menimpali: “Yang benar adalah disembelih seperti hakekatnya, tetapi yang disembelih adalah malaikat pencabut nyawa, semua orang mengenalnya karena dialah yang mencabut nyawa mereka”. Al-Hafizh mengatakan: “Pendapat ini disetujui oleh kalangan mutaakhirin (belakangan)”.

Semua penafsiran ini adalah untuk lolos dari menfafsirkan hadits secara hakekatnya yang bertentangan dengan logika sebagaimana kata Ibnul Arabi.

Cara ini lebih utama daripada menolak hadits, karena hadits ini telah shahih dari jalur-jalur terpercaya dari banyak sahabat. Sungguh merupakan tindakan serampangan kalau hadits ini ditolak padahal bisa kita tafsirkan seperti di atas…”.

Jawaban:
Sebelumnya terlebih dahulu kita berterima kasih kepada penulis di atas, karena beliau sedikit meringankan beban kita, lantaran beliau sepakat dengan kita tentang keabsahan hadits ini, bahkan beliau menegaskan bahwa merupakan tindakan ngawur kalau kita menolak keshahihan hadits ini. Sekali lagi kami berterima kasih atas pengakuan ini, namun masih tersisa masalah lain yang masih mengundang tanda tanya yang gatal di pikiran kita semua, yaitu apakah hadits ini secara hakekatnya ataukan dia hanya sekedar majaz seperti yang dikuatkan oleh penulis di atas?!! Inilah yang akan kita singkap dalam point-point berikut ini:

Pertama: Masalah Keimanan

Kaidah yang harus kita tanamkan bersama dalam masalah ini dan juga masalah-masalah keyakinan terhadap masalah ghaib lainnya adalah iman terhadap khabar yang datang dari Allah, sebagaimana firmanNya:
هُدًى لِلْمُتَّقِيْنَ . الَّذِيْنَ يُؤْمِنُوْنَ بِالْغَيْبِ
Petunjuk bagi orang-orang bertaqwa. Yaitu mereka yang beriman kepada yang ghaib. (QS. Al-Baqarah: 3)

Oleh karena para ulama dan imam seperti Sufyan ats-Tsauri, Malik bin Anas, Ibnul Mubarak, Ibnu Uyainah, Waki’ dan sebagainya mereka meriwayatkan hadits ini kemudian mengatakan: “Hadits ini diriwayatkan dan diimani tanpa ditanyakan: Bagaimana? Inilah yang dipilih oleh ahli hadits, yaitu meriwayatkan hadits ini dan diimani sebagaimana datangnya tanpa dikhayalkan atau ditanyakan: Bagaimana?.

Dari sini kita tahu rahasia kenapa para ulama mencantumkan masalah ini dalam kitab-kitab aqidah, semisal Abdul Ghani al-Maqdisi dalam Al-Iqtishad fil I’tiqad hal. 194, Ibnu Qudamah dalam Lum’ah I’tiqad hal.133 -Syarh Ibnu Utsaimin- , Shiddiq Hasan Khan dalam Qathfu Tsamar hal. 125, bahkan dalam kitabnya Juz’ fiihi Imtihan Sunni Minal Bid’i hal. 343, Abdul Wahid asy-Syirazi menjadikan masalah ini sebagai pembeda antara ahli Sunnah dengan ahli bid’ah, beliau mengatakan: “Kalau ada yang ditanya apakah maut akan didatangkan dan disembelih ataukah tidak? Apabila dia menjawab: Disembelih antara surga dan neraka, maka dia ahlus Sunnah. Namun apabila dia mengingkarinya maka dia ahli bid’ah”.

Jadi, masalah ini adalah masalah keyakinan dan keimanan yang di luar kapasitas akal seorang, yang harus diterima oleh seorang muslim dengan penuh kepasrahan. Dalam al-Fatawa al-Haditsiyyah hal. 234, Ibnu Hajar al-Haitami menyatakan bahwa orang yang mengingkari hadits ini hanyalah mereka yang berakal dangkal!!. Kita berdoa kepada Allah agar menjadikan kita termasuk hamba-hambaNya yang beriman.

Kedua: Hakekat Atau Majaz?!

Ada kaidah penting dan populer di kalangan ulama yang harus kita fahami juga dalam masalah ini, yaitu sebuah kaidah yang berbunyi:
الأَصْلُ فِي الْكَلاَمِ الْحَقِيْقَةُ فَلاَ يُعْدَلُ بِهِ إِلَى الْمَجَازِ -إِنْ قُلْنَا بِهِ- إِلاَّ إِذَا تَعَذَّرَتِ الْحَقِيْقَةُ
Kaidah asal suatu ungkapan adalah hakekatnya, tidak boleh dibawa kepada majaz (kiasan) –kalau kita berpendapat ada majaz- kecuali apabila tidak mungkin diartikan secara hakekatnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berkata: “Kaidah asal suatu ungkapan adalah secara hakekatnya. Hal ini telah disepakati oleh seluruh manusia dari berbagai bahasa, karena tujuan bahasa tidak sempurna kecuali dengan hal itu”. (Tanbih Rajulil Aqil 2/487). Ibnu Badran juga berkata: “Kapan saja ada lafadz, maka harus dibawa kepada hakekat dalam babnya, baik bahasa, syara’ maupun ‘urf (kebiasaan)”. (a-Madkhal hal. 174)

Sebagai contoh sederhana: Lafadz (الأَسَدُ), pada asalnya dia bermakna singa, salah satu hewan buas. Apabila kita mendapati kata tersebut, maka pada asalnya adalah bermakna binatang singa, kecuali kalau ada indikasi yang menghalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya, seperti dalam kalimat berikut:
رَأَيْتُ الأَسَدَ يَخْطُبُ الْجُمُعَةَ عَلَى الْمِنْبَرِ
Saya melihat singa khutbah jumat di atas mimbar.

Dalam kalimat ini, tidak mungkin “singa” bermakna hewan, tetapi maksudnya adalah seorang pemberani, karena ada indikasi kuat yang mengahalangi kita untuk mengartikan secara hakekatnya.

Bentuk penerapan kaidah ini ke dalam hadits pembahasan adalah kata “maut” tetap kita artikan secara zhahirnya yaitu kematian, sampai ada indikasi kuat yang memalingkan dari makna aslinya. Wallahu A’lam.

Ketiga: Jangan Ragukan Kemampuan Allah!!

Hal ini juga harus kita yakini bersama bahwa Allah Maha mampu, tidak ada sesutupun yang tidak mampu Dia lakukan. Oleh karenanya, janganlah kita ukur kemampuan Allah dengan kemampuan makhluk, sebagaimana jangan kita ukur masalah akherat dengan masalah dunia, karena hal itu di luar kapasitas akal kita. Berikut beberapa dalil yang semoga bisa dijadikan sebagai gambaran bahwa perubahan dari sifat kepeda benda bukanlah suatu yang mustahil bagi Allah. Allah telah mengkhabarkan bahwa Dia akan menimbang amal perbuatan hambaNya:
ونضع الموازين القسط ليوم القيامة فلا تظلم نفس شيئا وإن كان مثقال حبة من خردل أتينا بها وكفى بنا حاسبين
Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat, maka tiadalah dirugikan seorang barang sedikitpun. Dan jika (amalan) itu hanya seberat biji sawi pun pasti Kami mendatangkan (pahala)nya dan cukup Kami sebagai pembuat perhitungan. (QS. Al-Anbiya’: 47)

Hal ini harus kita yakini bersama, sekalipun secara akal kita yang terbatas bahwa amal perbuatan bukanlah benda yang bisa ditimbang.
اقْرَؤُوْا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُوْرَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ
Bacalah dua bunga, surat Al-Baqarah dan surat Ali Imron, karena keduanya akan datang pada hari kiamat seperti naungan. [HR. Muslim: 804]

Dan dalam hadits tentang adzab dan nikmat kubur, diantaranya Nabi mengkhabarkan:
وَيَأْتِيْهِ رَجُلٌ حَسَنُ الْوَجْهِ حَسَنُ الثِّيَابِ طَيِّبُ الرِّيْحِ فَيَقُوْلُ : أَبْشِرْ بِالَّذِيْ يَسُرُّكَ, هَذَا يَوْمُكَ الَّذِيْ كُنْتَ تُوْعَدُ, فَيَقُوْلُ لَهُ : مَنْ أَنْتَ فَوَجْهُكَ الْوَجْهُ يَجِئُ بِالْخَيْرِ؟ فَيَقُوْلُ : أَنَا عَمَلُكَ الصَّالِحُ
Lalu datang padanya seorang berwajah tampan, berbaju bagus, dan aromanya wangi seraya mengatakan: Bergembiralah dengan hari yang menyenangkanmu, haru yang engkau dijanjikan untuknya, si mayit mengatakan: Siapakah dirimu, wajahmu seperti wajah orang yang datang dengan kebaikan, dia menjawab: Saya adalah amalmu yang shalih. [Shahih. HR. Ahmad 4/287, Abu Dawud 2/281, al-Hakim 1/37 dll, dishahihkan Abu Nuaim, al-Hakim, adz-Dzahabi, al-Baihaqi, Ibnu Qayyim, al-Albani dalam Ahkamul Janaiz hal. 202.]

Dan masih banyak lagi dalil-dalil lainnya yang serupa. Nah, kalau demikian apakah mustahil kalau Allah akan merubah kematian dalam bentuk kambing kemudian disembelih antara surga dan neraka?!! Apakah hal itu sulit bagi Allah wahai hamba Allah?!! Tidak, demi Allah, kecuali bagi orang-orang yang lemah imannya.

Keempat: Komentar Ulama

Sebagaimana biasanya kita akan menukil warisan peninggalan para ulama kita dalam kitab-kitab mereka, dan tidak mengada-ngada atau membuat sesuatu yang baru dalam agama. Berikut sedikit nukilan komentar mereka:

1. Al-Hafizh Ibnu Qayyim al-Jauziyyah berkata: “Kambing dan sembelihan dan persaksian penduduk Surga dan Neraka adalah pada hakekatnya, bukan khayalan atau sekadar kata kiasan, sebagaimana sebagian manusia terjatuh dalam kesalahan yang amat fatal sekali dalam masalah ini seraya mengatakan: “mati adalah sifat dan sifat tidak bisa menjadi benda apalagi disembelih”. Semua ini adalah tidak benar, karena Allah menjadikan amalan bisa membentuk, merubah sifat menjadi benda, atau merubah benda menjadi sifat. Semua ini adalah hal yang mungkin bagi Allah, bukan sesuatu yang mustahil. Tidak perlu kita bersusah payah mengatakan: “Yang disembelih adalah malaikat maut, karena semua ini adalah ralat yang rusak kepada Allah dan rasulNya, serta penafsiran bathil yang tidak diterima oleh akal maupun dalil. Faktor penyebabnya adalah dangkalnya pemamahan terhadap maksud ucapan Nabi…”.  (Hadii Arwah Ila Biladi Afrah hal. 486)

Beliau juga memiliki ucapan yang bagus dalam kitabnya Al-Kafiyah asy-Syafiyah fil Inthishar lil Firqah Najiyah 329-331 dengan judul “Pasal tentang disembelihnya kematian antara surga dan neraka, serta bantahan terhada orang yang mengartikan hal itu adalah Malaikat maut, atau itu hanyalah majaz bukan hakekatnya”.

2. Al-Allamah as-Saffarini berkata: “Al-Hakim at-Tirmidzi menukil bahwa madzhab salaf tentang hadits ini adalah tidak memperbincangkan maknanya, kita beriman dengannya dan kita serahkan ilmunya kepada Allah”. Setelah menukilkan penafsiran-penafsiran tentang hadits ini, beliau berkomentar: “Pendapat yang kami anut bahwa kematian adalah sesuatu yang ada dan merupakan dzat bukan sifat, serta makhluk dalam bentuk kambing sebagaimana telah shahih hadits-hadits tentangnya dari Nabi yang mulia dan dinukil oleh para imam serta dihimpun oleh para penulis pilihan”.  (Lawamiul Anwar 2/236.)

3. Syaikh Muhammad Khalil Harras mengatakan: “Hal ini tidak mustahil dalam kemampuan Allah, bisa saja suatu sifat dirubah menjadi benda, demikian juga sebaliknya. Semua itu mungkin dan bisa terjadi. Telah banyak dalil yang menunjukkan tentang berubahnya suatu sifat menjadi dzat”.

Lanjutnya: “Kalau telah tetap bahwa beberapa amalan, bacaan dan selainnya dirubah oleh Allah menjadi suatu benda yang ditimbang, datang dan berbicara, maka tidak ada penghalang selama-lamanya kalau Allah merubah kematian menjadi bentuk kambing yang dilihat oleh penduduk surga agar bertambah gembira dan penduduk neraka agar bertambah sengsara. Kematian merupakan makhluk dengan ketegasan Al-Qur’an. Allah berfirman:
الَّذِيْ خَلَقَ الْمَوْتَ وَالْحَيَاةَ لِيَبْلُوَكُمْ أَيُّكُمْ أَحْسَنُ عَمَلاً
Dialah Allah Yang menciptakan kematian dan kehidupan untuk menguji siapa diantara kamu yang lebih baik amalnya. (QS. Al-Mulk: 2)

Dan tidak ragu lagi bahwa makhluk bisa saja dirubah oleh Allah kepada bentuk lain, dari sifat kepada dzat dan dari dzat kepada sifat. Semua ini adalah mungkin dalam kemampuan Allah. Hanya saja orang-orang jahil itu tidak menghormati Allah sepenuhnya sehingga mereka menganggap bahwa perubahan tersebut adalah mustahil, lalu mereka perlu untuk mendatangkan penafsiran-penafsiran bathil. Diantara mereka ada yang mendustakannya dan diantara mereka ada yang sibuk memalingkan artinya, dan sebagian lagi kebingungan tidak mengerti harus ngomong apa karena virus orang-orang jahil telah memenuhi telinganya sehingga dia buta dari memahami Al-Qur’an yang mulia..”. (Syarh Qashidah Nuniyah 2/431-433)

4. Al-Allamah Ahmad Syakir setelah menukil ucapan Ibnul Arabi di atas, beliau berkomentar: “Semua ini adalah bertele-tele dan bersusah payah terhadap masalah ghaib yang disembunyikan ilmunya oleh Allah. Kewajiban kita hanyalah beriman dengan berita yang datang sebagaimana adanya, kita tidak mengingkari atau menyelewengkan artinya. Hadits ini shahih, maknanya juga shahih dari riwayat Abu Sa’id al-Khudri dalam Bukhari, dan riwayat Abu Hurairah dalam Ibnu Majah dan Ibnu Hibban. Alam ghaib yang berada di luar alam kita tidak bisa digambarkan oleh akal kita dengan apa yang kita saksikan di muka bumi ini… benda dan sifat hanyalah sebuah istilah untuk mempermudah pemahaman. Sebaiknya bagi seorang adalah beriman dan beramal shalih kemudian menyerahkan masalah ghaib kepada Dzat Yang mengetahui alam ghaib, dengan demikian niscaya dia akan selamat di hari kiamat.
قُلْ لَوْ كَانَ الْبَحْرُ مِدَادًا لِكَلِمَاتِ رَبِّيْ لَنَفِدَ الْبَحْرُ قَبْلَ أَنْ تَنْفَدَ كَلِمَاتُ رَبِّيْ وَلَوْ جِئْنَا بِمِثْلِهِ مَدَدًا
Katakanlah: “Kalau sekiranya lautan menjadi tinta untuk (menulis) kalimat-kalimat Tuhanku, sungguh habislah lautan itu sebelum habis kalimat-kalimat Tuhanku, meskipun Kami datangkan tambahan sebanyak itu”. (QS. Al-Kahfi: 109). (Musnad Imam Ahmad 8/240-241/no. 5993)

D. FIQIH HADITS

Hadits yang mulia ini dijadikan dalil oleh para ulama tentang masalah keabadian surga dan neraka dan bahwa keduanya tidak akan fana. Hal ini disamping telah ditunjukkan oleh hadits di atas, juga telah ditetapkan dalam Al-Qur’an dan merupakan ijma’ ulama kaum muslimin.

Dalil Al-Qur’an:

Sangat banyak sekali dali-dalil Al-Qur’an yang menunjukkan hal ini, diantaranya:
(QS. An-Nisa’: 57)
(QS. An-Nisa’: 168-169)

Dalil Ijma’:

Masalah ini juga merupakan kesepakatan ulama sunnah sebagaimana dinukil oleh banyak ulama, diantaranya, Al-Qurthubi beliau berkata: “Hadits-hadits shahih ini merupakan dalil yang tegas tentang kekalnya penduduk neraka selama-lamanya tanpa kematian, kehidupan, ketenangan dan keselamatan… Barangsiapa mengatakan bahwa mereka akan keluar darinya dan bahwa neraka akan kosong serta fana maka dia telah keluar dari rel akal dan menyelisihi ajaran yang dibawa oleh Nabi serta kesepakatan ahli sunnah.

وَمَنْ يُشَاقِقِ الرَّسُوْلَ مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُ الْهُدَى وَيَتَّبِعْ غَيْرَ سَبِيْلِ الْمُؤْمِنِيْنَ نُوَلِّهِ مَا تَوَلَّى وَنُصْلِهِ جَهَنَّمَ وَسَاءَتْ مَصِيْرًا
Dan barangsiapa yang menentang Rasul sesudah jelas kebenaran baginya. Dan mengikuti jalan yang bukan jalan orang-orang beriman, Kami biarkan dia leluasa terhadap kesesatan dan Kami masukkan ia ke dalam Jahannam, dan Jahannam itu seburuk-buruk tempat kembali. (QS. An-Nisa’: 115)

Hanya saja bagian atas Jahannam akan kosong yaitu tempat orang-orang bermaksiat dari kalangan ahli tauhid”. (at-Tadzkirah li Ahwal Akhirah 2/511-512)

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah: “Para salaf umat ini, para imam dan seluruh ahli Sunnah wal Jama’ah telah bersepakat bahwa sebagian makhluk ada yang tidak fana selama-lamanya seperti surga, neraka, arsy dan sebagainya. Tidak ada yang mengatakan bahwa seluruh makhluk itu fana kecuali kelompok ahli kalam, ahli bid’ah seperti Jahm bin Shafwan dan sealiran dengannya dari kalangan Mu’tazilah. Pendapat ini bathil dan menyelisihi kitabullah, sunnah Rasulullah dan kesepakatan salaf”. (Majmu Fatawa 18/307)

Sebagai penutup, kita nukilkan bait al-Hafizh Jalaluddin as-Suyuthi sebagai berikut:
ثَمَانِيَةٌ حُكْمُ الْبَقَاءِ يَعُمُّهَا
مِنَ الْخَلْقِ وَالْبَاقُوْنَ فِيْ حَيِّزِ الْعَدَمْ
هِيَ الْعَرْشُ وَالْكُرْسِيُّ وَنَارٌ وَجَنَّةٌ
وَعَجْبٌ وَأَرْوَاحٌ كَذَا اللَّوْحُ وَالْقَلَمْ
Delapan perkara yang telah ditetapkan kekekalannya
Dari Makhuk, dan selainnya akan hancur binasa
Yaitu Arsy, Kursi, Neraka, Surga
Ajb (tulang belakang), Ruh, Lauh Mahfudh, dan Pena.

Demikianlah pembahasan dalam bab ini.

Wallahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar