Sabtu, 21 Januari 2017

Agar Tamasya Tidak Membawa Murka

MUQODDIMAH

وَلَن تَرْضَى عَنكَ الْيَهُودُ وَلاَ النَّصَارَى حَتَّى تَتَّبِعَ مِلَّتَهُمْ
“Orang-orang Yahudi dan Nasrani tidak akan rela kepada kamu hingga kamu mengikuti agama mereka.” (QS. al-Baqoroh [2]:120)

Apa hubungan ayat yang mulia ini dengan pembahasan figih kita kali ini. Jawabnya sa­ngat erat. Entertainment & amusement (hiburan dan pelesir) adalah salah satu pintu musuh­-musuh Islam dalam menghancurkan Islam. Mereka tahu, selama umat Islam berpegang kuat dengan agamanya, mereka tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka pun menyusun strategi bagaimana umat Islam tidak memperhatikan agamanya, di antaranya dengan memperba­nyak sarana hiburan (televisi, game, sport, musik) dan membangun tempat-tempat hiburan.

Tidak dipungkiri bahwa kita membutuhkan kebugaran dan kesegaran dalam menunai­kan ibadah. Berwisata sering menjadi pilihan saudara-saudara kita. Sebagian mereka pergi ke pantai atau pegunungan untuk bersahabat dengan alam. Sebagian lagi mengadakan perjalanan dakwah, mengunjungi pondok-pondok pesantren, panti asuhan atau berceng­krama dengan para petani dan kaum buruh. Dengan demikian kita ingat kembali, bahwa kita tidak sendirian. Banyak saudara-saudara kita yang membutuhkan perhatian kita, agar mereka pun hidup dalam bimbingan Islam. Allohul-mustaan.

Berikut ini kita kaji bersama, ‘fiqih wisata’. Semoga kita tetap menuai pahala walaupun sedang berwisata.

DEFINISI TAMASYA/ REKREASI

Rekreasi dalam bahasa Arab biasa disebut (siyahahyaitu bepergian ke suatu tempat untuk suatu tujuan (Seperti untuk bersantai, bersenang – senang, menikmati indahnya alam, mengetahui tempat – tempat bersejarah dan lain sebagainya), bukan untuk berpindah tempat dan bukan untuk melakukan suatu pekerjaan. [Al-Mu’jam al-Washith 915-916. Demikian definisi rekreasi yang lainnya dalam “Ahkam as-Siyahah Dirosah Syar’iyah Muqoronah” oleh Hasyim bin Muhammad bin Husain Naqur]

HUKUM BERTAMASYA

Rekreasi dengan tujuan bersantai, bersenang­-senang, menikmati indahnya alam, mengetahui tempat-tempat bersejarah dan lain sebagainya, hukum asalnya dibolehkan jika tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. Jika tujuannya untuk berdakwah dan amar ma’ruf nahi mungkar, maka hal itu dianjurkan. Tetapi jika sekadar rekreasi kemudian menyaksikan kemungkaran dan tidak mengingkarinya, maka hukumnya haram. [Fatawa wa tisy’arotil Islam, Fatwa Prof. Dr. Su’ud bin Abdulloh al-Fanisan 13/315]

IBADAH LEBIH DIUTAMAKAN DARI SEKADAR REKREASI

Tujuan hidup kita adalah kebahagiaan akhirat. Alloh telah menunjukkan jalan menuju ke sana, di antaranya dengan menunaikan ibadah. Alloh Ta’ala tetap mewajibkan sholat lima waktu walaupun se­seorang sedang dalam perjalanan jauh (safar). Na­mun Alloh Ta’ala memberi keringanan bagi musafir untuk menggoshor sholatnya. Demikian pula Alloh Ta’ala memberi keringanan tidak berpuasa wa­jib ketika safar dan menggodho’nya di hari lain.

Ummul Mu’minin A’isyah radhiyallahu ‘anhuma berkata :
“Awal mula sholat diwajibkan adalah dua roka’at, maka ditetapkan bagi musafir dua roka’at, dan bagi orang yang mukim (tidak safar) sholat (4 roka’at)” (HR. Bukhori 1090 dan Muslim 685)

Saat safar boleh menjama’/menggabung antara sholat Dzuhur dengan Ashar atau Maghrib dengan Isya’. Hal ini berdasarkan hadits :

“Nabi menjamak sholat Dzuhur dengan Ashar, dan menjama’ sholat Maghrib dengan Isya’ tatkala sedang melakukan perjalanan jauh.” (HR. Bukhori 1107, dan Muslim 704).

Sekalipun dalam keadaan safar maka sho­lat berjama’ah tetap dilakukan karena sholat berjama’ah tidak hanya ketika mukim. Bahkan dalam kondisi apapun Alloh Ta’ala tetap memerin­tahkan kaum muslimin untuk sholat berjama’ah walaupun ketika sedang berperang dan khawatir diserang musuh.

Alloh Ta’ala berfirman :“Dan apabila kamu berada di tengah-tengah mereka (sahabatmu) lalu kamu hendak mendirikan sholat ber­sama-sama mereka, maka hendaklah segolongan dari mereka berdiri (sholat) besertamu dan menyandang senjata.” (QS. an-Nisa [4]:102)

REKREASI KE TIGA MASJID YANG DIBERKAHI

Mengadakan perjalanan jauh ke masjidil Ha­rom, masjid Nabawi dan masjidil Aqsho dianjur­kan dalam Islam. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
“Tidak boleh mengadakan perjalanan jauh (untuk iba­dah) kecuali menuju 3 masjid, masjidil haram, masjid Nabawi, dan masjidil Aqsho.” (HR. Bukhori 1189).

Sekalipun perjalanan menuju masjid-masjid tersebut untuk sholat atau untuk haji dan umroh atau tujuan yang lain, selama tujuannya baik maka akan membuahkan pahala. (Ahkam as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah Syar’iyah Muqoronah karya Hasyim bin Muhammad bin Husain Naqur, hlm. 279)

Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan bahwa sholat di masjidil Haram lebih baik 100.000 kali lipat, sholat di mas­jid Nabawi lebih baik 1.000 kali lipat dan sholat di masjidil Aqsho lebih baik 500 kali lipat jika diban­dingkan dengan sholat di masjid-masjid lain. [HR. Ahmad 3/343, Ibnu Majah 1406, dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ al-Gholil 4/341-343]

REKREASI DI TEMPAT KAUM MUSLIMIN

Hukum asalnya diperbolehkan, bahkan jika tujuannya untuk mengambil ibroh atau mencari rezeki yang halal, atau melihat dan memperha­tikan kekuasaan Alloh Ta’ala sang Pencipta atau un­tuk menuntut ilmu maka dianjurkan. Syaratnya adalah tidak terdapat kemungkaran di dalamnya. (lihat QS. Muhammad: 10, al-Ankabut:20, al-Mulk:15, dan an-Nur:122). Lihat Ahkam as-Siyahah wa Atsaruha Dirosah Syar’iyah Muqoronah hlm. 173-174.

REKREASI KE NEGERI KAFIR

Rekreasi dengan tujuan bersenang-sedang menuju negara kafir termasuk perkara yang tidak pernah dilakukan oleh para salafus sholih. Oleh karena itu para ulama masa kini sebelum menghukuminya, mereka membahas masalah yang semisal yaitu hukum seorang muslim tinggal di negeri kafir.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa seorang muslim tinggal di negeri kafir hukumnya haram. Bahkan seorang muslim wajib hijrah jika tidak dapat melaksanakan agamanya di negeri kafir tersebut.

[Ini adalah pendapat Ibnu Rusyd, Ibnul Arobi dalam madzhab Malik dan para ulama madzhab Syafi’i, dan madzhab Ham­bali. Sedangkan pendapat tidak wajib hijrah dari negeri kafir adalah pendapat para ulama madzhab Hanafi, Ibnu Abdil Bar, al-Khotobi, dan Imam Nawawi (al-Inshof 4/121, Kasyaful Qona’ 3/43, Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyyah 18/281, Musykilul Atsar 7/31, al-Mabsuth 10/6, Umdatul Qori’ 1/29. Lihat juga Ahkam as-Siyahah Dirosah Syar’iyah Muqoronah hlm.174-175).]

§  Alloh Ta’ala memerintahkan hijrah bagi seorang muslim yang berada di negeri kafir yang tidak dapat melaksanakan agamanya. Lihat surat an-Nisa [4] : 97 – 99.

§  Dalam sebuah hadist, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam menegaskan :

“Barangsiapa berkumpul dengan orang musyrik dan tinggal bersamanya, maka dia serupa dengan­nya.” (HR. Abu Dawud 2787, dihasankan oleh al-Albani rahimahullah dalam Silsilah Shohihah 2330)

Masih banyak hadits-hadits yang serupa, seperti Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam berlepas diri dari orang muslim yang tinggal di negeri kafir (HR. Tirmidzi 1654, dan dishohihkan oleh al-Albani rahimahullah dalam Irwa’ al-Gholil 5/29)

§  Imam Ibnu Katsir rahimahullah menukil ijma’ ulama tentang haramnya seorang muslim yang tinggalnya di negeri kafir. (QS. an-Nisa’ [4] : 97 – 99) Be­liau semoga Allah ‘Azza wa jalla merahmatinya– mengatakan : “Ayat ini menjelaskan bahwa setiap muslim yang tinggal di negeri kafir pada­hal mampu untuk hijrah (tetapi tidak melaku­kan), sedangkan dia tidak dapat melaksanakan agamanya, maka orang ini telah melakukan hal yang haram menurut kesepakatan ulama.” (Tafsir al-Qur’anil ‘Adhim 1/555)

KAPAN SEORANG MUSLIM BOLEH PERGI KE NEGERI KAFIR

Syaikh Sholih al-Fauzan hafidhahullah juga menjelaskan : “Haram hukumnya bepergian ke negeri kafir, dan dibolehkan ketika kondisi darurat dengan syarat seorang muslim dapat menampakkan agama­nya, menjadi mulia (tidak semakin hina) dengan agama Islamnya, jauh dari tempat kerusakan, waspada terhadap makar. Begitu pula hukum­nya menjadi boleh bahkan wajib jika bepergian ke sana untuk mendakwahi agar penduduk negeri kafir tersebut masuk (agama) Alloh Ta’ala dan menye­barkan Islam.” (al-Wala’ wal Baro’ hlm.9)

Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan : “Tidak boleh seorang muslim bepergian ke negeri kafir kecuali dengan 3 syarat :

1. Memiliki ilmu syar’i sehingga dapat menolak syubhat/ kerancuan.
2. Memiliki agama/ ketakwaan sehingga dapat mencegah dirinya dari (fitnah) syahwat.
3. Ada kebutuhan (mendesak) untuk pergi ke negeri kafir.”

Kemudian beliau rahimahullah melanjutkan, “jika tidak terpenuhi syarat-syarat ini, maka tidak boleh be­pergian ke negeri kafir, sebab akibatnya (seorang muslim) terkena fitnah atau dikhawatirkan ter­kena fitnah (syubhat dan syahwat), mengeluarkan dan menyia-nyiakan harta yang banyak. Adapun bepergian untuk maksud rekreasi, maka bukan­lah suatu kebutuhan yang membolehkan seorang muslim untuk pergi ke negeri kafir. Karena seorang muslim masih bisa berekreasi ke negeri kaum muslimin sehingga dia dapat menjaga diri dan keluarganya untuk melaksanakan syari’at Islam.” [Syarh Tsalatsatil Ushul hlm.131-132]

REKREASI KE MAKAM WALI ATAU KUBURAN KERAMAT

Mengadakan perjalanan jauh/safar yang bertu­juan untuk mencari tempat-tempat ibadah yang lebih mulia dan lebih berkah telah dilarang dalam Islam, kecuali menuju tiga tempat yang memang memiliki kemulian dan berkah yaitu Masjidil Ha­rom, Masjid Nabawi dan Masjid al-Agsho.

Larangan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam ini mencakup larangan be­pergian jauh untuk ziarah kuburan siapapun, baik kuburan Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam atau para wali apabila dilaku­kan dengan menempuh perjalanan jauh. Karena semua tempat tidak mempunyai keistimewaan kecuali tiga masjid yang memiliki berkah dan keutamaan tersebut.

REKREASI/BERLIBUR UNTUK MENIKAH SESAAT

Masalah ini di kenal dengan istilah nikah dengan niat talak, yaitu seseorang sengaja pergi ke suatu tempat dengan mak­sud menikah untuk sementara, jika tiba saatnya kembali ia menceraikannya wanita yang dia nikahi.

Ada sebagian ulama memberi rukhsoh/mem­bolehkan menikah dengan niat talak,[13] tetapi sebagian lainnya mengharamkannya. Pendapat yang mengharamkan adalah yang lebih benar dengan beberapa alasan :

§  Di antara maksud pernikahan adalah supa­ya terjalin hubungan suami istri yang berkesinambungan untuk selamanya, timbul kasih sayang, mendapatkan ketenangan dan rohmat Alloh Ta’ala dan memperoleh keturunan. [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60]
§  Nikah dengan niat talak, apabila niat itu di­ucapkan dan diketahui oleh pasangannya be­rarti nikah mut’ah. Tetapi jika tidak diketahui oleh pasangannya berarti laki-laki tersebut me­nipu pasangan dan walinya. Telah dimaklumi bersama bahwa tidak seorang pun bersedia dinikahi untuk sesaat kecuali wanita yang ru­sak akhlak dan agamanya. [Liqo’ al-Bab al-Maftuh 20/60, dan az-Zawaj bi Niyatit Tholaq hlm. 69 – 70]
§  Nikah dengan niat talak terdapat kesamaan de­ngan nikah mut’ah dan nikah tahlil yang telah disepakati keharamannya karena di dalamnya terdapat niat untuk sementara. [Fatwa Lajnah Da’imah 18/449, no.21140]

Adapun sebagian ulama yang membolehkan beralasan harus dilakukan dengan syarat yakni oleh orang asing yang sedang menyelesaikan tu­gas di suatu tempat, bukan seorang yang sengaja pergi ke suatu tempat dengan tujuan menikah de­ngan niat talak. Walaupun demikian, tetap disa­rankan tidak melakukan hal ini. [Majmu’ Fatawa wa Magolat Mutanawwi’ah oleh Syaikh Ibnu Baz]

Setelah diketahui menikah seperti ini menim­bulkan madhorot yang lebih besar, maka nikah ini wajib dilarang. Di antara akibat buruk yang ditim­bulkan adalah :

§  Menjadi jalan untuk hanya memuaskan hawa nafsu dan menuju zina yang sebenarnya.
§  Menyelisihi maksud nikah yang syar’i, yaitu kelanggengan, kebersamaan, keharmonisan, saling mencintai dan mendapat rahmat Alloh Ta’ala serta mendapat keturunan.
§  Menelantarkan kaum wanita dan anak-anak dengan tidak memberi nafkah.
§  Menjadikan nasab tercerai berai.
§  Berakibat kedzoliman terhadap satu sama lain.

DILARANG BEPERGIAN TANPA TUJUAN

Di musim liburan sering kita menjumpai para pemuda berkelana tanpa tujuan yang jelas. Mereka berkelana, baik berjalan kaki, bersepeda, atau berkendaraan lainnya. Banyak kita jumpai mereka meminta-minta di jalan karena tidak membawa bekal yang cukup. Adapun berkelana atau bepergian semacam ini telah diingatkan oleh para ulama.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah rahimahullah berkata : “Adapun berkela­na tanpa tujuan tertentu, maka hal itu bukanlah amalan umat ini. Oleh karenanya, Imam Ahmad rahimahullah berkata: ‘Berkelana (tanpa tujuan) sedikitpun bukan termasuk ajaran agama Islam dan bukan amalan para Nabi ‘alaihis sholatu was salam dan orang-orang sholih.” [Masa’il Imam Ahmad 2/176 an-Naisaburi] Sekalipun ada di antara saudara-saudara kita yang berkelana terlarang ini, entah karena salah paham, atau tidak tahu akan larangan.” [Igtidho’Shirotil Mustaqim 1/327]

Al-Hafidz Ibnu Katsir rahimahullah berkata, “Bukan­lah maksud dari berkelana adalah seperti pemahaman sebagian orang ahli ibadah yang hanya sekadar berkelana di bumi dan menyendiri di gunung, padang pasir dan goa. Berkelana semacam itu tidak disyari’atkan kecuali pada za­man fitnah dan kegoncangan agama.” [Tafsir al-Qur’anil ‘Adzim 2/220, surat at-Taubah:112]


Syaikh al-Albani rahimahullah juga berkata pada saat mengomentari hadits larangan safar sendirian, “Di dalam hadits ini terdapat bantahan yang amat jelas tentang keluarnya sebagian orang sufi ke jalanan secara sendirian dengan tujuan berkelana dan penyucian jiwa!. Bahkan kerap kali mereka mati karena kelaparan dan kehau­san sebagaimana diceritakan dalam hikayat-hi­kayat mereka. Dan sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad Shallallahu ‘alaihi wa sallam. [HR. al-Bukhori 1862, Muslim 1341] 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar