Minggu, 22 Januari 2017

Bekal Safar: Kutitipkan Mereka Kepada-Mu, Ya Allah…

Perjalanan jauh atau safar merupakan peristiwa yang sering dialami manusia. Dari daerah yang satu menuju daerah yang lainnya. Dari suatu negara ke negara yang lainnya. Di dalamnya mereka kerapkali menemui berbagai hal yang tidak biasa mereka temui dan hal-hal tidak menyenangkan hati, ditinjau dari sisi agama maupun dari sisi keduniaan. Perkara-perkara itulah yang terkadang menjadi sebab perubahan yang ada dalam dirinya. Bisa jadi bertambah baik, namun bisa juga justru bertambah jelek. Oleh karena itu agama Islam yang sempurna dan elok ini telah menuntunkan kepada umatnya melalui lisan dan teladan Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai bekal apakah yang semestinya dipersiapkan oleh seorang mukmin sebelum keberangkatannya dan apa yang diucapkan di saat-saat menjelang perpisahan itu. Berikut ini salah satu Sunnah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika kita menjumpai keadaan semacam itu.

Perpisahan dalam Naungan as-Sunnah

Imam Abu Dawud rahimahullah membuat sebuah bab di dalam Sunannya dalam Kitab al-Jihad dengan judul Bab Fid Du’a ‘indal Wada’ (Doa ketika berpisah, yaitu sebelum melakukan perjalanan/safar). Kemudian beliau membawakan hadits Ibnu Umar radhiyallahu’anhuma:

عَنْ قَزَعَةَ قَالَ قَالَ لِى ابْنُ عُمَرَ هَلُمَّ أُوَدِّعْكَ كَمَا وَدَّعَنِى رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكَ وَأَمَانَتَكَ وَخَوَاتِيمَ عَمَلِكَ
Dari Qoza’ah, dia berkata: Ibnu Umar –radhiyallahu’anhuma- berkata kepadaku, “Kemarilah, akan kulepas kepergianmu sebagaimana ketika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku (yaitu dengan doa), ‘Astaudi’ullaha diinaka wa amaanataka wa khawaatima ‘amalik‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agamamu, amanatmu, dan akhir penutup amalmu).” (HR. Abu Dawud, Syaikh al-Albani berkata: Hadits ini sahih dengan banyak jalannya, sebagiannya disahihkan oleh at-Tirmidzi, Ibnu Hibban, al-Hakim, dan adz-Dzahabi. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/353] software Maktabah asy-Syamilah)

Bacaan Doa Ketika Memberangkatkan Pasukan

Tuntunan doa seperti ini tidak khusus untuk perorangan, bahkan berlaku pula untuk rombongan. Termasuk di dalamnya rombongan pasukan perang. Imam Abu Dawud rahimahullah meriwayatkan,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ الْخَطْمِىِّ قَالَ كَانَ النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا أَرَادَ أَنْ يَسْتَوْدِعَ الْجَيْشَ قَالَ أَسْتَوْدِعُ اللَّهَ دِينَكُمْ وَأَمَانَتَكُمْ وَخَوَاتِيمَ أَعْمَالِكُمْ .
Dari Abdullah al-Khathmi –radhiyallahu’anhu-, dia berkata: “Dahulu Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila hendak melepas keberangkatan pasukan beliau maka beliau membaca doa, ‘Astaudi’ullaha diinakum wa amaanatakum wa khawaatima a’maalikum‘ (Aku titipkan kepada Allah pemeliharaan agama kalian, amanat yang kalian emban, dan akhir penutup amal kalian).” (HR. Abu Dawud. Syaikh al-Albani mengatakan: Sanadnya sahih sesuai dengan kriteria Muslim. Lihat Shahih Sunan Abu Dawud [7/354] software Maktabah asy-Syamilah)

Abu at-Thayyib rahimahullah menerangkan makna ‘pasukan’ dalam hadits ini,

أي العسكر المتوجه إلى العدو
“Artinya adalah pasukan tentara yang akan diberangkatkan untuk menyerang musuh.” (Aun al-Ma’bud Syarh Sunan Abu Dawud [7/187] software Maktabah asy-Syamilah)

Bekali Dirimu dengan Takwa

Perjalanan tentunya membutuhkan perbekalan. Dan sebaik-baik bekal adalah ketakwaan. Karena dengan ketakwaan itulah seorang hamba akan mendapatkan jalan keluar bagi permasalahan yang dihadapinya, dimudahkan urusannya, dan bahkan dia akan bisa mendapatkan rezeki dari arah yang tidak dia sangka-sangka. Allah ta’ala berfirman,

وَتَزَوَّدُوا فَإِنَّ خَيْرَ الزَّادِ التَّقْوَى
“Berbekallah, sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (Qs. al-Baqarah: 197)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مَخْرَجًا وَيَرْزُقْهُ مِنْ حَيْثُ لَا يَحْتَسِب
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah berikan baginya jalan keluar dan Allah akan berikan rezeki kepadanya dari arah yang tidak dia sangka-sangka.” (Qs. at-Thalaq: 2-3)

Allah ta’ala berfirman,

وَمَنْ يَتَّقِ اللَّهَ يَجْعَلْ لَهُ مِنْ أَمْرِهِ يُسْرًا
“Barangsiapa yang bertakwa kepada Allah niscaya Allah jadikan baginya kemudahan dalam urusannya.” (Qs. at-Thalaq: 4)

Imam at-Tirmidzi rahimahullah meriwayatkan,
عن أنس قال : جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه و سلم فقال يا رسول الله إني أريد سفرا فزودني قال زودك الله التقوى قال زدني قال وغفر ذنبك قال زدني بأبي أنت وأمي قال ويسر لك الخير حيثما كنت
Dari Anas –radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Ada seorang lelaki yang datang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kemudian berkata, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian/safar maka berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Zawwadakallahut taqwa (semoga Allah membekalimu takwa).” Lalu dia berkata, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Wa ghafara dzanbaka (semoga Allah mengampuni dosamu).” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku, ayah dan ibuku sebagai tebusan bagimu.” Beliau menjawab, “Wa yassara lakal khaira haitsuma kunta (semoga Allah mudahkan kebaikan untukmu di mana pun kamu berada).” (HR. at-Tirmidzi, beliau berkata: hadits hasan gharib. Syaikh al-Albani mengatakan: hasan sahih. Lihat Shahih Sunan at-Tirmidzi [3/155] software Maktabah asy-Syamilah)

Imam Ibnu as-Suni rahimahullah meriwayatkan hadits ini dengan redaksi doa yang sedikit berbeda,
عن أنس ، رضي الله عنه أن رجلا أتى النبي صلى الله عليه وسلم، فقال : يا رسول الله ، إني أريد سفرا، فزودني. قال : زودك الله التقوى . قال : زدني. قال : وغفر لك ذنبك . قال : زدني. قال : ووجهك للخير حيثما توجهت
Dari Anas radhiyallahu’anhu bahwa ada seorang lelaki yang menemui Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam lalu mengatakan, “Wahai Rasulullah, saya hendak bepergian. Berilah saya bekal.” Maka beliau menjawab, “Semoga Allah membekalimu dengan takwa.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Dan semoga Allah mengampuni dosa-dosamu.” Dia berkata lagi, “Tambahkan lagi -bekal- untukku.” Beliau menjawab, “Semoga Allah mengarahkanmu kepada kebaikan ke arah mana pun kamu menempuh perjalanan.” (HR. Ibnu as-Suni dalam ‘Amal al-Yaum wa al-Lailah [2/461], lihat juga Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih karya Syaikh Abul Hasan Hisamuddin ar-Rehmani al-Mubarakfuri rahimahullah [8/189] software Maktabah asy-Syamilah)

at-Thibi rahimahullah menerangkan makna doa ‘zawwadakallahut taqwa‘,
زادك أن تتقي محارمه وتجتنب معاصيه
“Semoga Allah membekalimu dengan ketakwaan yang akan membuatmu menjaga diri dari perkara-perkara yang diharamkan-Nya dan menjauhi perbuatan maksiat kepada-Nya.” (Dinukil dari Mir’at al-Mafatih Syarh Misykat al-Mashabih [8/190] software Maktabah asy-Syamilah)

Allah Tak Akan Menyia-nyiakan ‘Barang Titipan’

Imam Ibnu Majah rahimahullah meriwayatkan,
عن أبي هريرة قال ودعني رسول الله صلى الله عليه و سلم فقال أستودعك الله الذي لا تضيع ودائعه
Dari Abu Hurairah –radhiyallahu’anhu-, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melepas kepergianku dengan mengucapkan, ‘Astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uhu‘ (Kutitipkan kamu kepada Allah yang tidak akan pernah tersia-siakan apa yang dititipkan kepada-Nya).” (HR. Ibnu Majah. Disahihkan al-Albani dalam as-Shahihah [16 dan 2547] dan Takhrij al-Kalim at-Thayyib [167], lihat Shahih Ibnu Majah [2/133] software Maktabah asy-Syamilah)

al-Munawi rahimahullah menjelaskan makna bacaan ini,
أي الذي إذا استحفظ وديعة لا تضيع فإنه تعالى إذا استودع شيئا حفظه
“Artinya: -Allah adalah- sosok yang apabila diserahkan kepadanya suatu barang titipan maka barang itu tidak akan tersia-siakan, karena Allah ta’ala apabila dititipi sesuatu maka Allah pasti akan menjaganya…” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)

Beliau juga menerangkan,
ويندب لكل من المتوادعين أن يقول للآخر ذلك وأن يزيد المقيم زودك الله التقوى وغفر ذنبك ووجهك للخير حيثما كنت
“Dianjurkan bagi masing-masing orang di antara kedua belah pihak yang berpisah untuk mengucapkan bacaan itu kepada saudaranya yang lain dan hendaknya orang yang mukim menambahkan bacaan ‘zawwadakallahut taqwa wa ghafara dzanbaka wa wajjahaka lil khairi haitsuma kunta‘.” (Faidh al-Qadir [1/641] software Maktabah asy-Syamilah)

Jagalah -aturan- Allah, Allah ‘kan menjagamu!

Ketika menerangkan kandungan hadits ‘ihfazhillaha yahfazhka‘ (jagalah Allah niscaya Allah menjagamu), al-Hafizh lbnu Rajab al-Hanbali rahimahullah menerangkan,
فإن الله عز و جل يحفظ المؤمن الحافظ لحدود دينه ويحول بينه وبين ما يفسد عليه دينه بأنواع من الحفظ وقد لا يشعر العبد ببعضها وقد يكون كارها له كما قال في حق يوسف عليه السلام كذلك لنصرف عنه السوء والفحشاء إنه من عبادنا المخلصين يوسف قال ابن عباس في قوله تعالى إن الله يحول بين المرء وقلبه قال يحول بين المؤمن وبين المعصية التي تجره إلى النار
“Sesungguhnya Allah ‘azza wa jalla akan menjaga seorang mukmin yang berusaha untuk senantiasa menjaga batasan/aturan agama Allah dan Allah akan menghalangi dirinya dari perkara-perkara yang akan merusak agamanya dengan berbagai macam bentuk penjagaan, yang terkadang hamba tersebut tidak menyadari sebagiannya. Bahkan bisa jadi dia merasa tidak suka atas perkara itu (bentuk penjagaan Allah, pent). Hal ini sebagaimana yang Allah ceritakan mengenai keadaan -Nabi- Yusuf ‘alaihis salam (dalam ayat yang artinya), ‘Demikianlah Kami palingkan darinya keburukan dan kekejian. Sesungguhnya dia termasuk kalangan hamba Kami yang ikhlas.’ (Qs. Yusuf). Ibnu Abbas –radhiyallahu’anhuma- mengatakan ketika menafsirkan kandungan firman Allah ta’ala (yang artinya), ‘Sesungguhnya Allah akan menghalangi antara seseorang dengan hatinya’ maksudnya adalah: Allah akan menghalangi antara diri seorang mukmin dengan kemaksiatan yang akan menyeretnya ke dalam neraka…” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal 243)

Ibnu Rajab menukilkan sebuah atsar dari Abdullah bin Mas’ud radhiyallahu’anhu, beliau berkata:
إن العبد ليهم بالأمر من التجارة والإمارة حتى ييسر له فينظر الله إليه فيقول للملائكة اصرفوه عنه فإنه إن يسرته له أدخلته النار فيصرفه الله عنه فيظل يتطير بقوله سبني فلان وأهانني فلان وما هو إلا فضل الله عز جل
“Sesungguhnya ada seorang hamba yang bertekad untuk meraih ambisinya dalam hal perdagangan (baca: urusan bisnis) dan urusan kepemimpinan sehingga diapun dimudahkan ke arah itu. Kemudian Allah memperhatikan dirinya, lalu Allah katakan kepada para malaikat, ‘Palingkanlah hal itu darinya. Sebab jika hal itu Aku mudahkan untuknya niscaya hal itu justru akan menjerumuskan dirinya ke dalam neraka’. Maka Allah pun memalingkan urusan itu darinya sampai-sampai dia merasa dirinya selalu bernasib sial seraya mengatakan, ‘Si fulan mengolok-olokku’, ‘Si fulan menghinakanku’. Padahal sebenarnya apa yang dialaminya itu tidak lain adalah karunia yang diberikan Allah ‘azza wa jalla -kepadanya-…” (Jami’ al-‘Ulum wa al-Hikam, hal 243)

Pelajaran yang Bisa Dipetik

Keterangan-keterangan di atas memberikan banyak pelajaran bagi kita, antara lain:

Semestinya orang yang hendak bepergian mempersiapkan bekal (uang atau makanan, dsb), dan bekal yang terbaik adalah ketakwaan.

Perintah untuk senantiasa mengingat Allah dalam berbagai keadaan, sebab barangsiapa yang mengingat Allah maka Allah akan mengingatnya.

Hendaknya seorang mukmin menyukai kebaikan bagi saudaranya sebagaimana yang dia sukai untuk dirinya sendiri, dan salah satu wujudnya adalah dengan mendoakan kebaikan untuknya.

Disyari’atkan untuk membaca doa ‘astaudi’ullaha diinaka wa amaanatak wa khawaatima ‘amalik‘, atau ‘astaudi’ukallahalladzi laa tadhii’u wadaa-i’uh‘ ketika akan berpisah. Bagi orang yang mengantarkan bisa juga dengan doa ‘zawwadakallahut taqwa, wa ghafara dzanbaka, wa yassarallahu lakal khaira haitsuma kunta‘ dan yang serupa dengannya sebagaimana disebutkan dalam riwayat.

Sebab penjagaan Allah kepada diri seorang hamba adalah keteguhan dirinya dalam menjalankan perintah dan menjauhi larangan di mana pun dia berada. Perkara yang wajib jelas harus lebih diprioritaskan, dan lebih bagus lagi jika ditambah dengan amalan sunnah sesuai dengan kondisi yang sedang dihadapi.

Bentuk penjagaan yang Allah berikan kepada seorang hamba tidak selamanya terasa menyenangkan bagi jiwa/perasaan manusia. Bisa jadi secara lahir seseorang tertimpa musibah atau perkara lain yang tidak disukainya -dalam urusan keduniaan- namun sebenarnya hal itu adalah bentuk penjagaan Allah kepada dirinya, Maha suci Allah dari perlakuan aniaya kepada hamba-hamba-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. Sehingga pemberian suatu nikmat dunia kepada seseorang tidak secara otomatis menunjukkan bahwa Allah meridhai hal itu bagi kita. Karena bisa jadi nikmat yang Allah beri merupakan bentuk hukuman yang ditunda, sedangkan nikmat yang dicabut dengan adanya musibah merupakan sarana penghapusan dosa baginya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits yang lain (bagian akhir dari faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid).

Penjagaan yang Allah berikan kepada hamba tergantung pada tingkat kesungguhannya dalam menjalankan petunjuk-Nya. Hal itu sebagaimana ayat (yang artinya), “Orang-orang yang bersungguh-sungguh di jalan Kami niscaya akan Kami tunjukkan kepada-Nya jalan-jalan (menuju keridhaan) Kami.” (Qs. al-Ankabut: 69). Dan juga ayat (yang artinya), “Orang-orang yang berjalan di atas petunjuk niscaya akan Allah tambahkan hidayah kepada mereka dan Allah akan berikan kepada mereka ketakwaan mereka.” (Qs. Muhammad: 17)

Hal ini -pelajaran no-7- sekaligus menunjukkan kepada kita kebenaran ucapan para ulama kita, ‘min tsawabil hasanati al-hasanatu ba’daha‘ (salah satu balasan kebaikan adalah munculnya kebaikan sesudahnya). Dalil ucapan ini adalah firman Allah (yang artinya), “Barang siapa yang beriman kepada Allah maka Allah akan berikan petunjuk ke dalam hatinya.” (Qs. at-Taghabun: 11) (faedah ini kami peroleh dari kitab al-Jadid fi Syarh Kitab at-Tauhid)

Hadits-hadits di atas menunjukkan bahwa ajaran Islam adalah ajaran yang sempurna dan mencakup berbagai sisi kehidupan manusia. Hal ini membuktikan kepada kita bahwa sebaik-baik petunjuk adalah petunjuk Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam dan sejelek-jelek perkara adalah yang diada-adakan dalam agama (baca: bid’ah).

Hadits-hadits di atas juga menunjukkan bahwa hadits Nabi -yang sah- tidak akan pernah bertentangan dengan ayat-al-Qur’an. Dan menunjukkan bahwa apa yang beliau ajarkan adalah berlandaskan wahyu dari Allah ta’ala, bukan hasil rekayasa budaya manusia. Hal ini sekaligus menjadi bantahan bagi kaum liberal dan pluralis yang menyatakan bahwa al-Qur’an -begitu pula as-Sunnah, sebagai konsekuensi logis atasnya- yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada umatnya adalah muntaj tsaqafi (produk budaya) dan bukan wahyu ilahi. Maha Suci Allah dari kotornya ucapan mereka… Tidakkah mereka membaca firman Allah yang sedemikian gamblang dan terang (yang artinya), “Tidaklah dia -Muhammad- berbicara dari hawa nafsunya. Hanya saja yang dia ucapkan itu adalah wahyu yang diwahyukan kepadanya.” (Qs. an-Najm: 3-4)? Ataukah barangkali mata hati mereka telah membuta… Na’dzubillahi min dzalik! Maka ambillah pelajaran wahai Ulil Abshar (orang-orang yang memiliki mata hati)…


Demikianlah paparan singkat dan sangat sederhana ini. Semoga kita termasuk orang yang menghidupkan Sunnah ketika banyak orang telah melupakan dan melalaikannya. Semoga Allah memberikan keteguhan kepada kita untuk bersabar di atas ketakwaan kepada-Nya hingga ajal tiba, wallahul muwaffiq

Tidak ada komentar:

Posting Komentar