Rabu, 18 Januari 2017

Takziyah Orang Kafir.

Allah Subhanahu Wa Ta’ala telah menentukan bahwa setiap makhluk bernyawa pasti akan mengalami kematian. Baik itu manusia, jin, atau binatang.

Dalam hal meninggalnya seorang manusia, maka akan kita tahu bahwa mereka terbagi antara orang yang muslim dan orang yang kafir (non muslim). Apabila yang meninggal adalah saudara kita yang muslim, maka telah jelas petunjuk Rasulullah mengenai hal itu. Sekarang, bagaimana apabila yang meninggal orang kafir (non muslim)?. Ini menimbulkan beberapa pertanyaan, diantaranya :
  
1.       Bolehkan kita takziyah ke orang kafir yang meninggal, baik itu saudara kita atau bukan?
2.       Apakah kita boleh mengucapkan istirja apabila mendengar orang kafir yang meninggal?

Allah berfirman,
يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah (orang-orang kafir)…” (QS. Al-Mumtahanah: 13)

Ada dua hal yang perlu kita bedakan terkait interaksi dengan non muslim:

Pertama, berbuat baik dan bersikap adil

Islam tidak melarang umatnya untuk berbuat baik dan bermuamalah yang baik kepada orang-orang kafir selama mereka tidak memerangi kita dan tidak mengusir kita dari negeri kita.

Sikap semacam ini diajarkan dan dianjurkan dalam Islam. Kaum muslimin, siapapun dia, disyariatkan untuk berbuat baik, bersikap baik terhadap semuanya, bahkan kepada orang kafir sekalipun. Sebagaimana yang Allah firmankan,

لَا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُمْ مِنْ دِيَارِكُمْ أَنْ تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِين
Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil.” (QS. Al-Mumtahanah: 8)

Berkata Syeikh Abdurrahman As-Sa’dy: “Allah tidak melarang kalian untuk berbuat baik, menyambung silaturrahmi, membalas kebaikan, berbuat adil kepada orang-orang musyrik, dari keluarga kalian dan yang lain selama mereka tidak memerangi kalian karena agama dan selama mereka tidak mengusir kalian dari negeri kalian, maka tidak mengapa kalian menjalin hubungan dengan mereka karena menjalin hubungan dengan mereka dalam keadaan seperti ini tidak ada larangan dan tidak ada kerusakan.” (Tafsir As-Sa’dy hal 856-857)

Namun disana ada aturan-aturan yang harus kita perhatikan dalam bermuamalah dengan orang-orang kafir. Diantaranya kita tidak diperbolehkan mengorbankan agama untuk mencari ridha mereka.

Syeikh Sulaiman Ar-Ruhaily dalam sebagian ceramah beliau menyebutkan bahwa untuk menjaga keseimbangan supaya perbuatan baik kita tidak berujung kepada loyalitas kepada mereka maka setiap kita berbuat baik kepada mereka (orang kafir), harus senantiasa kita ingat bahwa mereka adalah orang-orang kafir, musuh-musuh Allah ta’ala, yang kalau suatu saat mereka menguasai kita mereka akan berusaha membinasakan kita (Kaset Al-Wala wal Bara, yang beliau sampaikan di masjid Quba, Al-Madinah)

Kedua, memberikan loyalitas

Sikap yang kedua ini dilarang dalam Islam, bahkan Allah memberikan ancaman yang sangat keras bagi kaum muslimin yang memberikan loyalitas kepada orang kafir. Allah berfirman,
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا لَا تَتَّخِذُوا الْيَهُودَ وَالنَّصَارَى أَوْلِيَاءَ بَعْضُهُمْ أَوْلِيَاءُ بَعْضٍ وَمَنْ يَتَوَلَّهُمْ مِنْكُمْ فَإِنَّهُ مِنْهُمْ
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-orang Yahudi dan Nasrani sebagai wali (kekasih); sebagian mereka adalah pemimpin bagi sebahagian yang lain. Barangsiapa diantara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.” (QS. Al-Maidah: 51).


Hukum takziyah ke orang kafir yang meninggal :

Para ulama telah berselisih pendapat tentang hukum ta’ziyah muslim terhadap orang kafir, ada yang mengatakan boleh secara mutlak, dan ada yang mengatakan haram.

Para ulama yang mengharamkannya, menggolongkan menghadiri jenazah orang kafir termasuk bentuk memberikan loyalitas. Karena itulah mereka melarang kaum muslimin menghadiri jenazah non muslim.

Ketika Abu Talib meninggal, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak megurusi mayatnya sama sekali. Beliau hanya menyuruh Ali bin Abi Talib untuk menguburkannya. Padahal kita tahu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sangat berharap agar Abu Tallib masuk Islam. Sampai ketika pamannya meninggal dalam kondisi kafir, beliau sangat sedih dan ingin memohonkan ampun untuk Abu Talib. Terkait peristiwa ini, Allah menurunkan firman-Nya:

إِنَّكَ لَا تَهْدِي مَنْ أَحْبَبْتَ وَلَكِنَّ اللَّهَ يَهْدِي مَنْ يَشَاءُ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ
Sesungguhnya engkau tidak bisa memberikan petunjuk kepada orang yang kamu cintai, namun Allahlah yang memberi petunjuk kepada siapa saja yang Allah kehendaki. Dan Dia Maha Mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk.” (QS. Al-Qashas: 56).

Dari Ali bin Abi Talib radhiyallahu ‘anhu, bahwa ketika bapaknya meninggal, dia datang melapor kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam:
إِنَّ عَمَّكَ الشَّيْخَ الضَّالَّ قَدْ مَاتَ
“Sesungguhnya pamanmu, si tua yang sesat telah mati.”

Kemudian Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menasihatkan,
اذْهَبْ فَوَارِ أَبَاكَ
Segera kuburkan bapakmu.” (HR. Abu Daud 3214 dan Nasai 2006).

Imam Malik rahimahullah mengatakan:
لا يغسل المسلم والده إذا مات الوالد كافرا , ولا يتبعه ، ولا يدخله قبره ، إلا أن يخشى أن يضيع : فيواريه
“Seorang muslim tidak boleh memandikan ayahnya, jika ayahnya mati kafir, tidak boleh mengiringi mayatnya, dan tidak boleh pula memasukkannya ke kuburan. Kecuali jika dia khawatir mayitnya tidak terurus, maka dia boleh menguburkannya.” (al-Mudawanah, 1:261).

Dalam Syarah Muntaha al-Iradat dijelaskan maksud Imam Malik di atas,
ولا يغسّل مسلم كافرا  للنهي عن موالاة الكفار ، ولأن فيه تعظيما وتطهيرا له ، فلم يجز ؛ كالصلاة عليه
“Orang muslim tidak boleh memandikan orang kafir”, karena adanya larangan untuk memberikan loyalitas kepada orang kafir. Karena hal itu termasuk mengagungkan dan mensucikannya, karena itu, perbuatan ini tidak dibolehkan. Sebagaimana tidak boleh menshalati mayatnya.” (Syarh Muntaha al-Iradat, 1:347).

Dalam Kasyaful Qana’ dinyatakan,
ويحرم أن يغسل مسلم كافرا ، ولو قريبا ، أو يكفنه ، أو يصلي عليه ، أو يتبع جنازته ، أو يدفنه ) ؛ لقوله تعالى : ( يا أيها الذين آمنوا لا تتولوا قوما غضب الله عليهم ) وغَسلُهم ونحوه : تولٍّ لهم ، ولأنه تعظيم لهم ، وتطهير ؛ فأشبه الصلاة عليه … ( إلا أن لا يجد من يواريه غيره ، فيوارَى عند العدم )
“Seorang muslim  diharamkan memandikan orang kafir, meskipun dia kerabat dekat. Dilarang pula mengkafani, menshalati mayatnya, mengikuti jenazahnya atau menguburkannya. Berdasarkan firman Allah, yang artinya: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kalian memberikan wala’ (loyalitas) kepada kaum yang dimurkai oleh Allah”. Sementara memandikan mayit dan semacamnya, termasuk memberikan loyalitas kepadanya. Karena mengandung unsur; mengagungkan dan mensucikan mereka. Ststusnya seperti menshalati mereka.. kecuali jika tidak ada orang lain yang menguburkannya maka keluarganya harus menguburkannya.” (Kasyaful Qana’, 2:123).

Dan para ulama yang membolehkan takziyah, dan pendapat ini adalah yang lebih kuat -wallahu a’lamu- berkata: ta’ziyah ahlul kitab adalah boleh dengan syarat-syarat, diantara syarat-syarat tersebut:

1.       Mereka (orang kafir) tersebut tidak menganggap bahwa ta’ziyah yang kita lakukan adalah penghormatan untuk mereka (Fatawa Syeikh Muhammad Al-utsaimin 2/304 )

2.       Di dalamnya ada mashlahat, seperti mengharapkan keislaman keluarganya atau menghindari gangguan mereka terhadap dirinya atau kaum muslimin (Fatawa Al-Lajnah Ad-Daimah 9/132)

3.       Tidak mengikuti upacara keagamaan mereka atau mendengarkan ceramah mereka, karena Allah berfirman:

وَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِينَ يَخُوضُونَ فِي آيَاتِنَا فَأَعْرِضْ عَنْهُمْ حَتَّى يَخُوضُوا فِي حَدِيثٍ غَيْرِهِ وَإِمَّا يُنْسِيَنَّكَ الشَّيْطَانُ فَلا تَقْعُدْ بَعْدَ الذِّكْرَى مَعَ الْقَوْمِ الظَّالِمِينَ.
“Dan apabila kamu melihat orang-orang memperolok-olokkan ayat-ayat Kami, maka tinggalkanlah mereka sehingga mereka membicarakan pembicaraan yang lain. Dan jika syaitan menjadikan kamu lupa (maka larangan ini), janganlah kamu duduk bersama orang. orang yang zalim itu sesudah teringat (akan larangan itu).” (Qs. 6:68)

Ucapan Kepada Jenazah non Muslim:

Tidak ada dalil khusus tentang apa yang kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada orang kafir, yang penting ucapan yang tidak ada larangan syar’i seperti mendoakan rahmat dan ampunan untuk orang kafir.

Allah berfirman:
مَا كَانَ لِلنَّبِيِّ وَالَّذِينَ آمَنُوا أَنْ يَسْتَغْفِرُوا لِلْمُشْرِكِينَ وَلَوْ كَانُوا أُولِي قُرْبَى مِنْ بَعْدِ مَا تَبَيَّنَ لَهُمْ أَنَّهُمْ أَصْحَابُ الْجَحِيمِ.
“Tiadalah sepatutnya bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memintakan ampun (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, walaupun orang-orang musyrik itu adalah kaum kerabat(nya), sesudah jelas bagi mereka, bahwasanya orang-orang musyrik itu adalah penghuni neraka Jahannam.” (Qs. At Taubah:113)

Imam An-Nawawi berkata,
قال النووي رحمه الله : وأما الصلاة على الكافر والدعاء له بالمغفرة فحرام بنص القرآن والإجماع
“Adapun menshalati orang kafir dan mendoakan agar diampuni dosanya, maka hukumnya haram, berdasarkan nash Al–qur’an dan Ijma’. (al-Majmu’ 5/120).

Sebagian ulama menyebutkan bahwa diantara doa yang bisa kita ucapkan ketika berta’ziyah kepada orang kafir adalah:
أخلف الله عليك ولا نقص عددك
“Semoga Allah menggantinya untukmu dan tidak mengurangi jumlahmu (yaitu supaya tetap banyak jizyahnya).” (Lihat Al-Majmu’, Imam An-Nawawy 5/275, dan Al-Mughny, Ibnu Qudamah 2/487)

Adapun apakah boleh jika seorang non-muslim meninggal apakah boleh kita ucapkan kalimat istirja’ (inna lillahi wa inna ilaihi raji’un)? Jawabannya adalah boleh saja, karena inti dari kalimat istirja’ adalah kita semua milik Allah. Hanya saja tidak boleh kita doakan dengan doa semacam: “semoga tenang di sisi-Nya”, “Semoga diampuni dan mendapat tempat tertinggi”. Tidak boleh kita doakan dengan doa semacam ini, yaitu doa diampuni, doa mendapat ketenangan dan sebagainya.

Berikut pertanyaan diajukan kepada syaikh bin Baz rahimahullah, “Jika seorang laki-laki atau wanita kafir meninggal, apakah boleh kita ucapkan “inna lillahi wa inna ilaihi raji’un” atau tidak boleh? Apakah boleh kita berkata “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai.”?

Beliau menjawab: “Seorang kafir jika meninggal, tidak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’unalhamdulillah, semisal keluargamu, ini tidak mengapa. Manusia kembali kepada Allah dan semuanya milik Allah, tidak mengapa hal seperti ini.

Akan tetapi tidak didoakan, selama ia kafir maka tidak didoakan tidak juga dikatakan: “wahai jiwa yang tenang, kembalilah kepada Rabb-mu dengan diridhai”. Karena jiwa orang kafir tidak tenang, jiwa yang fajirah, perkataan ini dikatakan kepada orang mukmin saja.

Kesimpulannya, orang kafir jika meninggal tidak mengapa kita ucapkan: inna lillahi wa inna ilaihi raji’un, dan tidak mengapa dikatakan kepadamu: “addzamallahu ajraka fihi”, “Ahsana ‘aza-aka fihi”, “maa fi ba’sin” (“semoga Allah memberikan pahala yang besar untukmu dengan kematiannya dan memberikan hiburan pelipur lara untukmu sebagai pengganti kematiannya”)

Karena bisa jadi memberikan mashalahat dalam hidupmu, bisa jadi dalam hidupnya ia berbuat baik padamu, memberikan engkau manfaat, akan tetapi tidak didoakan, tidak dimintakan ampun, tidak disedekahkan atas namanya, jika mati dalam keadaan kafir”. [Sumber: http://www.binbaz.org.sa/noor/9289]


Demikian semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar