Sabtu, 27 Mei 2017

Derajat Hadits Dalam Kitab Durratun Nashihin

Di masyarakat kita, kitab ini cukup populer, menjadi pegangan dalam pengutipan hadits dalam ceramah-ceramah. Lengkapnya, berjudul Durratun Nashihin Fil Wa’zhi wal Irsyad karya Syaikh ‘Utsman bin Hasan bin Ahmad Syakir al-Khubari seorang Ulama yang hidup di abad ke sembilan hijriyah.

Kitab Durratun Nashihin juga populer di India, dan Turki. Namun, menurut hasil penelitian Dr. Lutfi Fathullah, 30% dari 839 hadis di dalamnya ternyata berkategori palsu.

Kita ambil contoh. Misalnya bagi Anda yang merasa punya dosa, sebesar dan seberat apa pun dosa itu, jangan takut. Cobalah baca salawat kepada Nabi Muhammad saw. Sebanyak seratus kali setiap hari Jumat. Maka dengan salawat itu dosa-dosa Anda praktis akan diampuni Tuhan. Ini sesuai dengan sebuah hadis yang dikutip Utsman ibn Hasan Al-Khubawi (w. 1824) dalam kitabnya Durratun Nashihin (DN).

Hadis itu persisnya berbunyi, “Man shalla `alayya mi’atan fi kulli yaumi jumu`atin ghafarallahu lahu walau kanat dzunubuhu mitsla zabadil-bahri” (Barangsiapa membaca salawat seratus kali untukku setiap hari Jumat, maka Allah akan mengampuni dosanya, sekalipun dosanya itu seperti buih laut).

Benarkah demikian? Tunggu dulu. Hadis itu, menurut Dr. Lutfi Fathullah, ternyata palsu dilihat dari segi kekuatan hukumnya. Merujuk pada ahli hadis Asy-Syakhawi dalam kitabnya Al-Qaulul-Badi`, dosen ilmu hadis di IAIN Jakarta itu berpendapat bahwa hadis tersebut tak dikenal perawinya. Asy-Syakhawi tidak menemukan asal atau sumber hadis itu yang valid sebagai sabda Nabi Muhammad. “Karena itu,” kata Lutfi, “Asy-Syakhawi memasukkan hadis tersebut sebagai hadis yang tidak sahih alias palsu.” Dan, itu berarti pula, belum tentu benar bahwa hanya dengan membaca salawat seratus kali di hari Jumat segala dosa diampuni Tuhan.

Lutfi menyatakan pendapatnya itu dalam disertasinya berjudul “Kajian Hadis Kitab Durratun Nashihin” yang ditulisnya guna meraih gelar doktor falsafah dalam bidang ilmu hadis pada Fakulti Pengajian Islam Universiti Kebangsaan Malaysia (UKM), Bangi, Malaysia. Disertasi setebal 787 halaman di bawah bimbingan Prof. Dr. Jawiah Dakir itu telah dipresentasikannya di depan sidang promosi doktor di UKM, 27 Oktober 1999 lalu, dengan penguji Prof. Dr.Muhammad Radhi, Prof. Dr. Abdul Samad Hadi, Prof. Dr. M. Zein, dan Prof. Dr.Muddasir Rosdir. Dan hasilnya, Lutfi meraih gelar doktor dengan yudisium memuaskan.

Rujukan Pesantren

Anak Betawi asli yang lahir pada 25 Maret 1964 itu memang sudah lama peduli hadis. Selain berhasil mengantongi gelar master dalam ilmu-ilmu hadis (‘ulumul hadits) dari Fakultas Syariah Universitas Yordania (1994), Lutfi juga selama empat tahun pernah secara intens bergelut dengan kitab-kitab tafsir-hadis karya ulama-ulama ternama, seperti Bukhari, Muslim, Nasa’i, Tirmidzi, dan lain-lain. Lebih-lebih lagi, komunikasi-intelektualnya sangat dekat dengan Prof. Dr. Nuruddin `Itr, salah seorang pakar ilmu hadis yang sangat dikenal di dunia Arab.

Dengan dasar-dasar itu, Lutfi merasa jengah melihat cara masyarakat Islam, khususnya kalangan ulamanya, dalam menggunakan hadis. Menurut dia, dalam mengutip sebuah hadis, banyak kiai dan ulama hanya mengandalkan ucapan “Qaala Rasulullah…”, tanpa menyebut siapa perawi dan apa sanadnya. Ini berbahaya, baik bagi pengucapnya atau pendengarnya.

Dalam ilmu hadis, lanjut alumnus Gontor itu, kalau sebuah hadis tak jelas perawinya, mungkin itu hadis palsu. “Menggunakannya sebagai dalil, dosanya sangat besar,” ujar Lutfi seraya mengutip hadis dari kitab Sahih Bukhari, “Man kadzaba `alayya muta`ammidan fal-yatabawwa’ maq`adahu minan-nar” (Barangsiapa berbohong kepadaku secara sengaja maka tempatnya di api neraka), sebagai landasan teologis penelitiannya.

Nah, dari situlah Lutfi merasa terpanggil untuk memilih DN sebagai objek kajiannya. Menurut dia, DN merupakan salah satu kitab populer di Indonesia. Menurut penelitian Martin van Bruinessen dan penelitian Masdar F. Mas`udi dkk., DN kerap dijadikan rujukan di masjid-masjid, musala, sekolah, dan terutama pesantren-pesantren di Sumatera, Kalimantan Selatan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan Madura. DN pun sudah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia. Bahkan menurut Lutfi, sudah ada tujuh versi terjemahan DN berbahasa Indonesia, dengan penerjemah dan penerbit yang berbeda-beda–pertama kali diterjemahkan H. Salim Bahreisy, diterbitkan Balai Buku, Surabaya (1978).

DN ternyata juga cukup populer di Malaysia, Turki dan India. Di Malaysia, menurut Lutfi, hadis-hadis dalam DN sering dikutip di TV1, TV2, TV3, Berita Harian, dan lain-lain. Sementara di Turki bahkan sudah lebih lama lagi dikenal: sudah diterbitkan sejak 1262 H dan mengalami beberapa kali cetak ulang. Begitu pula di Mesir (terbit pada 1264 H), Libanon (dicetak ulang pada 1993 M) dan India (dicetak pada 1281 H). “Pokoknya,” kata Lutfi, “di mana pun tradisi tasawuf cukup kuat, di situlah DN mendapat tempat. Sebab, hadis-hadis di dalamnya memang cenderung lebih dekat ke tasawuf.” Yang agak mencengangkan adalah hasil temuan Lutfi sendiri. Hadis yang dikutip di atas bukanlah satu-satunya hadis palsu dalam DN dilihat dari kekuatan hukumnya.

Menurut dia, setelah merujuk pada kitab-kitab ahli hadis yang diakui mu`tabarah, secara keseluruhan Lutfi menemukan sebanyak 251 hadis palsu (30%). Sementara yang lemah (dha`if) 180 hadis (21,5%), amat lemah 48 hadis (5,7%), dan belum dapat dipastikan sebanyak 56 hadis (6,7%). “Yang terakhir ini dikategorikan demikian karena hadis-hadis tersebut tak dikenal perawinya. Atau bila dikenal, sanadnya tak diketahui,” jelasnya.

Jangan Asal Sebut

Adapun hadis yang shahih sebanyak 204 hadis (24,3%), shahih lighairihi 12 hadis (1,4%), isnadnya shahih 2 hadis (0,2%), hasan 67 hadis (8%), dan hasan lighairihi 19 hadis (2,2%) (Lihat tabel 1). Dari sejumlah itu, Lutfi juga mengklasifikasikan boleh-tidaknya hadis-hadis tersebut untuk digunakan sebagai dalil dalam berbagai keutamaan amal (fadha’ilul a`mal). Dari 839 hadis itu masing-masing boleh digunakan sebanyak 484 hadis (57,7%), tidak boleh digunakan sebanyak 336 hadis (40,2%), dan tak dapat dipastikan sebanyak 18 hadis (2,1%) (Lihat tabel 2).

Secara sederhana, Lutfi berkesimpulan seperti itu karena dua alasan.

Pertama : Dari segi kredibilitas penulisnya, keahlian Al-Khubawi dalam ilmu-ilmu keislaman, khususnya tafsir-hadis, masih diperdebatkan. Ismail Basya, misalnya, penulis biografi Al-Khubawi, tak pernah memujinya dengan sebutan Al-`Allamah, Asy-Syaikh, atau Al-Imam. Sementara Umar Ridha Kahhalah memuji Al-Khubawi dengan gelar wa`izh (pemberi nasihat), mufassir (ahli tafsir), dan muhaddits (ahli hadis). Lutfi menolak julukan itu, karena Al-Khubawi bukan mufasir dan muhaddits. “Saya setuju julukan wa`izh, pemberi nasihat. Memang itulah isi DN sebenarnya,” tuturnya seraya menjelaskan bahwa DN merupakan satu-satunya karya Al-Khubawi.

Kedua : Karena Al-Khubawi bukan muhaddits, wajar jika kandungan DN lemah secara metodologi ilmu hadis. Misalnya, seperti ditemukan Lutfi, Al-Khubawi menukil hadis dari kitab-kitab tak dikenal pengarangnya; tidak menyebut sanad, baik dari dia sendiri atau dari perawi yang dinukilnya; tidak lazim menyebut perawi hadis setingkat sahabat; menyebut hadis dengan lafaz-lafaz kitab yang dinukil, bukan kitab asal yang meriwayatkan hadis dengan sanadnya; tidak menjelaskan hadis-hadis yang dinukilnya dapat dijadikan dalil atau tidak; tidak menilai hadis (hasan, dha`if, dan seterusnya) atau mengeritiknya; dan tidak menggunakan lafaz penyampaian (qaala, ruwiya, rawaa) sebagai syarat kekuatan hadis yang disebutkan.

Berdasarkan studinya itu, Lutfi menyarankan agar umat Islam–khususnya kiai dan ulama–lebih hati-hati dalam menggunakan hadis dan tidak asal sebut. DN juga perlu direvisi dengan penjelasan-penjelasan seperlunya. Misalnya ada keterangan hadis ini shahih, hadis itu palsu, dha`if, dan sebagainya. Bisa juga dibuat edisi mukhtasharnya dengan membuang semua hadis palsu atau yang tak jelas sumbernya. Ini mendesak dilakukan, mengingat sudah begitu terkenalnya kitab DN di masyarakat, sementara kritisisme masyarakat sendiri sangat minim terhadap hadis. “Kalau ini kita biarkan, berarti kita melestarikan kepalsuan-kepalsuan. Dan itu sangat berdosa,” tegas Lutfi. Dengan begitu, Lutfi sebetulnya sedang berbicara pada dirinya sendiri, atau dengan sesama ahli hadis lain–yang di Indonesia sangat minim, atau boleh dibilang langka. Akan lebih baik lagi jika hal serupa dilakukan juga terhadap kitab-kitab lain. Jadi, kita tunggu saja hasilnya. Dan Lutfi sudah memulainya. [Nasrullah Ali-Fauzi]

Kekuatan Hukum Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin

Hukum Hadis,                   (Jumlah %)
Shahih, =                             (204)    (24,3%)
ShahihLighairihi, =         (12)       (1,4%)
Isnaduhu Shahih, =         (2)         (0,2%)
Hasan, =                               (67)       (8%)
Hasan Lighairihi, =          (19)       (2,2%)
Dha’if, =                               (180)    (21,5%)
Amat Dha’if, =                   (48)       (5,7%)
Palsu, =                                (251)    (30%)
Belum Dapat Dipastikan, = (56) (6,7%)
Jumlah, =                            (839)    (100%)

Kegunaan Hadis-hadis dalam Durratun Nashihin Sebagai Dalil

Kegunaan,                                           (Jumlah %)
Boleh Digunakan, =                        (484)    (57,7%)
Tidak Boleh Digunakan, =           (336)    (40,2%)
Tidak Dapat Dipastikan, =           (18)       (2,1%)
Jumlah, =                                            (839)    (100%)

Tentang kitab ini, Syaikh bin Baz rahimahullah dalam Fatawa Nur ‘ala ad-Darb (1/80-81), mengatakan sebagai berikut:

“Kitab ini tidak bisa dijadikan pegangan. (Sebab) berisi hadits-hadits maudhu (palsu) dan lemah yang tidak bisa dijadikan sandaran, sehingga tidak sepatutunya buku ini dijadikan sandaran dan kitab-kitab serupa lainnya yang berisi hadits palsu dan lemah. Hal ini karena hadits-hadits Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mendapatkan perhatian penuh dari para imam-imam (ahli) Sunnah. Mereka telah menjelaskan dan memilah hadits-hadits shahih dan yang tidak shahih. Maka, sudah seharusnya seorang mukmin memiliki kitab-kitab yang baik dan bermanfaat (saja), seperti Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, Sunan Arba’ah, Mumtaqa al-Akhbar karya Majdudin Ibnu Taimiyah rahimahullah dan kitab Riyadhus Shalihin karya Iman an Nawawi rahimahullah, Bulughul Marom, dan ‘Umdatul Hadits. Kitab-kitab (hadits) ini bermanfaat bagi seorang Mukmin. Kitab-kitab ini jauh dari hadits-hadits palsu dan dusta. Tentang hadits-hadits lemah yang ada di kitab Sunan, Riyadhus Shalihin atau Bulughul Marom, para penulisnya telah menjelaskan dan menyampaikan hukumnya. Hadits-hadits yang lemah yang belum dijelaskan penulis kitab-kitab tersebut, telah dipaparkan dan ditunjukkan oleh para ulama lainnya dalam kitab-kitab syarag yang menjelaskan kitab-kitab tersebut. Demikian juga dijelaskan oleh para ulama dalam karya mereka (secara khusus) tentang hadits-hadits palsu dan lemah.”

Sebagian ulama telah membukukan hadits-hadits palsu dan lemah dalam kitab-kitab tersendiri. Misal, al-Maudhu’at karya Imam Ibnul Jauzi, al-Fawaid al-Majmu’ah karya Imam Syaukani, Silsilah al-aHadits adh-Dhai’ifa wal Maudhu’ah karya Syaikh al Albani dan lain-lain. Buku-buku ini ditulis dalam rangka memperingatkan umat dari hadits-hadits palsu dan lemah agar tidak diamalkan.

Peringatan Tentang Bahayanya Menyebarkan Hadits Palsu

Menyebarkan hadits palsu, berarti berdusta bahwa Nabi memerintahkan ini dan itu, padahal Nabi tidak melakukannya. Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam termasuk dosa besar, bahkan bisa kafir.

Imam Adz Dzahabi dalam kitab beliau Al Kabair (mengenai dosa-dosa besar) berkata, “Berdusta atas nama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam adalah suatu bentuk kekufuran yang dapat mengeluarkan seseorang dari Islam. Tidak ragu lagi bahwa siapa saja yang sengaja berdusta atas nama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam menghalalkan yang haram dan mengharamkan yang halal berarti ia melakukan kekufuran. Adapun perkara yang dibahas kali ini adalah untuk bentuk dusta selain itu.”

Beberapa dalil yang dibawakan oleh Imam Adz Dzahabi adalah sebagai berikut.

Dari Al Mughirah, ia mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِنَّ كَذِبًا عَلَىَّ لَيْسَ كَكَذِبٍ عَلَى أَحَدٍ ، مَنْ كَذَبَ عَلَىَّ مُتَعَمِّدًا فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ مِنَ النَّارِ
“Sesungguhnya berdusta atas namaku tidaklah sama dengan berdusta pada selainku. Barangsiapa yang berdusta atas namaku secara sengaja, maka hendaklah dia menempati tempat duduknya di neraka.” (HR. Bukhari no. 1291 dan Muslim no. 4).

Dalam hadits yang shahih, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَّ  بنيَ لَهُ بَيْتٌ فِي جَهَنَّمَ
“Barangsiapa berdusta atas namaku, maka akan dibangunkan baginya rumah di (neraka) Jahannam.” (HR. Thobroni dalam Mu’jam Al Kabir)

Imam Dzahabi juga membawakan hadits, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Siapa yang berkata atas namaku padahal aku sendiri tidak mengatakannya, maka hendaklah ia mengambil tempat duduknya di neraka.”

Dalam hadits lainnya disebutkan pula,
يُطْبَعُ الْمُؤْمِنُ عَلَى الْخِلاَلِ كُلِّهَا إِلاَّ الْخِيَانَةَ وَالْكَذِبَ
“Seorang mukmin memiliki tabiat yang baik kecuali khianat dan dusta.” (HR. Ahmad 5: 252. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini dhoif)

Dari ‘Ali, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
مَنْ رَوَى عَنِّى حَدِيثًا وَهُوَ يَرَى أَنَّهُ كَذِبٌ فَهُوَ أَحَدُ الْكَاذِبَيْنِ
“Siapa yang meriwayatkan dariku suatu hadits yang ia menduga bahwa itu dusta, maka dia adalah salah seorang dari dua pendusta (karena meriwayatkannya).” (HR. Muslim dalam muqoddimah kitab shahihnya pada Bab “Wajibnya meriwayatkan dari orang yang tsiqoh -terpercaya-, juga diriwayatkan oleh Ibnu Majah no. 39. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Setelah membawakan hadits-hadits di atas, Imam Adz Dzahabi berkata, “Dengan ini menjadi jelas dan teranglah bahwa meriwayatkan hadits maudhu’ -dari perowi pendusta- (hadits palsu) tidaklah dibolehkan.” (Lihat kitab Al Kabair karya Imam Adz Dzahabi, terbitan Maktabah Darul Bayan, cetakan kelima, tahun 1418 H, hal. 28-29).

Pembahasan ini bermaksud menunjukkan bahayanya menyampaikan hadits-hadits palsu yang tidak ada asal usulnya sama sekali dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.


Semoga Allah memberi taufik dan hidayah.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar