Jumat, 05 Mei 2017

Hadits Palsu : Tradisi Maaf-Maafan Sebelum Ramadhan

Ada sebuah tradisi yang sangat dilestarikan oleh masyarakat, dan juga oleh kalangan aktifis da’wah yang beramal tanpa didasari ilmu, tradisi tersebut adalah tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan.

Mereka yang melestarikan tradisi ini beralasan dengan hadits, bahkan mereka menyebarkannya melalui sosial media yang kemudian disambut dan diviralkan oleh orang-orang yang tidak mengerti. Adapun terjemahan haditsnya sebagai berikut:

Ketika Rasullullah sedang berkhutbah pada Shalat Jum’at (dalam bulan Sya’ban), beliau mengatakan Amin sampai tiga kali, dan para sahabat begitu mendengar Rasullullah mengatakan Amin, terkejut dan spontan mereka ikut mengatakan Amin. Tapi para sahabat bingung, kenapa Rasullullah berkata Amin sampai tiga kali. Ketika selesai shalat Jum’at, para sahabat bertanya kepada Rasullullah, kemudian beliau menjelaskan: “ketika aku sedang berkhutbah, datanglah Malaikat Jibril dan berbisik, hai Rasullullah Amin-kan do’a ku ini,” jawab Rasullullah.

Do’a Malaikat Jibril itu adalah:

“Ya Allah tolong abaikan puasa ummat Muhammad, apabila sebelum memasuki bulan Ramadhan dia tidak melakukan hal-hal yang berikut:
1) Tidak memohon maaf terlebih dahulu kepada kedua orang tuanya (jika masih ada);
2) Tidak bermaafan terlebih dahulu antara suami istri;
3) Tidak bermaafan terlebih dahulu dengan orang-orang sekitarnya.

Namun anehnya, hampir semua orang yang menuliskan hadits ini tidak ada yang menyebutkan periwayat hadits. Setelah dicari, hadits ini pun tidak ada di kitab-kitab hadits.

Setelah berusaha mencari-cari lagi, akhirnya menemukan ada orang yang menuliskan hadits ini kemudian menyebutkan bahwa hadits ini diriwayatkan oleh Ibnu Khuzaimah (3/192) dan Ahmad (2/246, 254).

Ternyata pada kitab Shahih Ibnu Khuzaimah (3/192) juga pada kitab Musnad Imam Ahmad (2/246, 254) ditemukan hadits berikut:

عن أبي هريرة  أن رسول الله صلى الله عليه و سلم رقي المنبر فقال : آمين آمين آمين فقيل له : يارسول الله ما كنت تصنع هذا ؟ ! فقال : قال لي جبريل : أرغم الله أنف عبد أو بعد دخل رمضان فلم يغفر له فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد أدرك و الديه أو أحدهما لم يدخله الجنة فقلت : آمين ثم قال : رغم أنف عبد أو بعد ذكرت عنده فلم يصل عليك فقلت : آمين  قال الأعظمي : إسناده جيد

Dari Abu Hurairah: Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam naik mimbar lalu bersabda: ‘Amin, Amin, Amin’. Para sahabat bertanya : “Kenapa engkau berkata demikian, wahai Rasulullah?” Kemudian beliau bersabda, “Baru saja Jibril berkata kepadaku: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’, maka kukatakan, ‘Amin’, kemudian Jibril berkata lagi, ‘Allah melaknat seorang hamba yang mengetahui kedua orang tuanya masih hidup, namun tidak membuatnya masuk Jannah (karena tidak berbakti kepada mereka berdua)’, maka aku berkata: ‘Amin’. Kemudian Jibril berkata lagi. ‘Allah melaknat seorang hambar yang tidak bershalawat ketika disebut namamu’, maka kukatakan, ‘Amin”.” Al A’zhami berkata: “Sanad hadits ini jayyid”.

Hadits ini dishahihkan oleh Al Mundziri di At Targhib Wat Tarhib (2/114, 406, 407, 3/295), juga oleh Adz Dzahabi dalam Al Madzhab (4/1682), dihasankan oleh Al Haitsami dalam Majma’ Az Zawaid (8/142), juga oleh Ibnu Hajar Al Asqalani dalam Al Qaulul Badi‘ (212), juga oleh Al Albani di Shahih At Targhib (1679).

Jika kita perhatikan hadits shahih di atas, kita akan mendapatkan sekian banyak perbedaan antara teks hadits dengan yang beredar di sosial media yang banyak tersebar di masyarakat.

Hadits di atas tidak menyebutkan waktu kapan kejadian itu berlangsung. Jibril berdoa 3 kali dan diaminkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak ada keterangan waktunya. Karena itu, siapa yang mengklaim bahwa itu terjadi menjelang ramadhan atau setelah nisfu sya’ban, maka dia harus membawakan dalil.

Doa jibril: ‘Allah melaknat seorang hamba yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan’ tanpa sedikitpun beliau menyinggung agar minta maaf kepada orang tua atau suami-istri, atau kepada sesama, dst.

Memperhatikan hal ini, sejatinya apa yang disebarkan melalui sosial media itu bukan doa jibril. Malaikat jibril, sama sekali tidak pernah berdoa demikian. Beliau hanya mendoakan keburukan untuk orang yang melewati Ramadhan tanpa mendapatkan ampunan. Bisa jadi karena selama ramadhan, dia masih rajin bermaksiat, sehingga puasa yang dia jalankan tidak membuahkan ampunan dosa.

Dari sini jelaslah bahwa kedua hadits tersebut di atas adalah dua hadits yang berbeda. Entah siapa orang iseng yang membuat hadits pertama. Atau mungkin bisa jadi pembuat hadits tersebut mendengar hadits kedua, lalu menyebarkannya kepada orang banyak dengan ingatannya yang rusak, sehingga berubahlah makna hadits. Atau bisa jadi juga, pembuat hadits ini berinovasi membuat tradisi bermaaf-maafan sebelum Ramadhan, lalu sengaja menyelewengkan hadits kedua ini untuk mengesahkan tradisi tersebut. Yang jelas, hadits yang tidak ada asal-usulnya, kita pun tidak tahu siapa yang mengatakan hal itu, sebenarnya itu bukan hadits dan tidak perlu kita hiraukan, apalagi diamalkan.

Meminta maaf itu disyariatkan dalam Islam. Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam bersabda,
من كانت له مظلمة لأخيه من عرضه أو شيء فليتحلله منه اليوم قبل أن لا يكون دينار ولا درهم إن كان له عمل صالح أخذ منه بقدر مظلمته وإن لم تكن له حسنات أخذ من سيئات صاحبه فحمل عليه
Orang yang pernah menzhalimi saudaranya dalam hal apapun, maka hari ini ia wajib meminta perbuatannya tersebut dihalalkan oleh saudaranya, sebelum datang hari dimana tidak ada ada dinar dan dirham. Karena jika orang tersebut memiliki amal shalih, amalnya tersebut akan dikurangi untuk melunasi kezhalimannya. Namun jika ia tidak memiliki amal shalih, maka ditambahkan kepadanya dosa-dosa dari orang yang ia zhalimi” (HR. Bukhari no.2449)

Dari hadits ini jelas bahwa Islam mengajarkan untuk meminta maaf, jika berbuat kesalahan kepada orang lain. Adapun meminta maaf tanpa sebab dan dilakukan kepada semua orang yang ditemui, tidak pernah diajarkan oleh Islam. Jika ada yang berkata: “Manusia khan tempat salah dan dosa, mungkin saja kita berbuat salah kepada semua orang tanpa disadari”. Yang dikatakan itu memang benar, namun apakah serta merta kita meminta maaf kepada semua orang yang kita temui? Mengapa Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam dan para sahabat tidak pernah berbuat demikian? Padahal mereka orang-orang yang paling khawatir akan dosa. Selain itu, kesalahan yang tidak sengaja atau tidak disadari tidak dihitung sebagai dosa di sisi Allah Ta’ala. Sebagaimana sabda Rasulullah Shallallahu’alaihi Wasallam,

إن الله تجاوز لي عن أمتي الخطأ والنسيان وما استكرهوا عليه
Sesungguhnya Allah telah memaafkan ummatku yang berbuat salah karena tidak sengaja, atau karena lupa, atau karena dipaksa” (HR Ibnu Majah, 1675, Al Baihaqi, 7/356, Ibnu Hazm dalam Al Muhalla, 4/4, di shahihkan Al Albani dalam Shahih Ibni Majah)

Sehingga, perbuatan meminta maaf kepada semua orang tanpa sebab bisa terjerumus pada ghuluw (berlebihan) dalam beragama.

Dan kata اليوم (hari ini) menunjukkan bahwa meminta maaf itu dapat dilakukan kapan saja dan yang paling baik adalah meminta maaf dengan segera, karena kita tidak tahu kapan ajal menjemput. Sehingga mengkhususkan suatu waktu untuk meminta maaf dan dikerjakan secara rutin setiap tahun tidak dibenarkan dalam Islam dan bukan ajaran Islam.

Namun bagi seseorang yang memang memiliki kesalahan kepada saudaranya dan belum menemukan momen yang tepat untuk meminta maaf, dan menganggap momen datangnya Ramadhan adalah momen yang tepat, tidak ada larangan memanfaatkan momen ini untuk meminta maaf kepada orang yang pernah dizhaliminya tersebut. Asalkan tidak dijadikan kebiasaan sehingga menjadi ritual rutin yang dilakukan setiap tahun.

Adapun mengenai do’a jibril alaihissallam kepada tiga golongan manusia agar mereka semua dijauhkan dari rahmat allah subhanahu wa ta’ala, Dr. Fadhl Ilahi bin Syaikh Zhuhur Ilahi menjelaskan sebagai berikut:

Ada tiga kelompok orang yang dido‘akan dengan kejelekan oleh Jibril dan diaminkan oleh Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, mereka itu adalah:

1. Orang yang mendapati bulan Ramadhan tetapi dia tidak diampuni (setelah keluar darinya-pen.).
2. Orang yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, tetapi ia masuk ke dalam Neraka.
3. Orang yang disebutkan di hadapannya nama Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, tetapi ia tidak bershalawat kepadanya.

Ada beberapa hadits yang menunjukkan hal tersebut, di antaranya adalah:

Pertama: Al-Imam Ibnu Hibban meriwayatkan dari Malik bin al-Huwairits Radhiyallahu anhu, beliau berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam naik ke atas mimbar, ketika beliau naik ke atas tangga, beliau berkata ‘Aamiin,’ lalu beliau naik lagi ke atas tangga (tingkat kedua) dan berkata, ‘Aamiin’ lalu beliau naik lagi ke atas tangga (tingkat ketiga) dan berkata, ‘Aamiin’ lalu beliau berkata, ‘Jibril datang kepadaku dan berkata, ‘Wahai Muhammad, siapa saja yang mendapati bulan Ramadhan dan dia tidak diampuni, maka Allah akan melaknatnya.’ Lalu aku (Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berkata: ‘Aamiin.’”

Jibril berkata lagi, ‘Dan siapa saja yang mendapati kedua orang tuanya masih hidup atau salah satunya, lalu dia masuk ke dalam Neraka, maka Allah akan menjauhkannya dari rahmat-Nya.’ Aku katakan, ‘Aamiin.’

Jibril berkata lagi, ‘Siapa saja yang ketika namamu disebutkan, lalu ia tidak bershalawat kepadamu, maka Allah akan melaknatnya, katakanlah aamiin, lalu aku katakan, ‘Aamiin.’

Al-Ihsan fii Taqriib Shahiih Ibni Hibban, kitab al-Bir wal Ihsan, bab Haqqul Waalidain (II/140 no. 409), al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani, di dalamnya ada ‘Umran bin Aban, yang ditsiqahkan oleh Ibnu Hibban, sedangkan yang lainnya mendha’ifkan, sedangkan perawi yang lainnya tsiqah. Ibnu Hibban meriwayatkan hadits ini di dalam Shahiihnya dari jalan tersebut (Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id X/166). Syaikh Syu’aib al-Arnauth berkata, “Ini adalah hadits shahih dengan yang lainnya, sedangkan sanadnya lemah.” (Hamisy al-Ihsaan fii Taqriib Shahiih Ibni Hibban II/140)

Kedua: Al-Imam ath-Thabrani meriwayatkan dari Ka’ab bin ‘Ujrah Radhiyallahu anhu :

“Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam pada suatu hari keluar menuju mimbar, ketika dia naik ke sebuah tangga, beliau berkata, ‘Aamiin.’
Lalu beliau naik lagi dan berkata, ‘Aamiin.’
Lalu beliau naik lagi ke tangga yang ketiga dan berkata, ‘Aamiin.’

Ketika beliau turun dari mimbar dan selesai berkhutbah, kami berkata, ‘Wahai Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, kami telah mendengar sebuah perkataan darimu pada hari ini.’
Rasul Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Kalian mendengarkannya?’
Mereka menjawab, ‘Benar.’

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, ‘Sesungguhnya Jibril menampakkan dirinya ketika aku sedang menaiki tangga, lalu ia berkata, ‘Rahmat Allah jauh bagi orang yang menemukan kedua orang tuanya di waktu tua atau salah satunya, lalu ia tidak memasukkannya ke dalam Surga.’ Rasulullah berkata: ‘Lalu aku berkata, ‘Aamiin.’’

Jibril berkata, ‘Rahmat Allah jauh bagi orang yang ketika namamu disebutkan tetapi ia tidak bershalawat kepadamu.’ Lalu aku berkata, ‘Aamiin.’

Jibril berkata, ‘Rahmat Allah jauh bagi orang yang menemukan Ramadhan tetapi ia tidak diampuni.’ Lalu aku berkata, ‘Aamiin.’”

[Majma’uz Zawaa-id wa Manba-ul Fawaa-id kitab al-Ad’iyah bab Fii Man Dzukira j ‘indahu falam Yushalli ‘alaihi (X/166). Al-Hafizh al-Haitsami berkata, “Hadits ini diriwayatkan oleh ath-Thabrani dan perawinya tsiqah.”]

Al-Imam ath-Thaibi menjelaskan sebab do‘a kepada tiga golongan ini ketika beliau menjelaskan hadits yang lainnya [*] sesungguhnya shalawat kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebuah pengagungan kepadanya. Maka, barangsiapa yang memuliakan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam, niscaya Allah akan memuliakannya, meninggikan derajatnya di dunia dan akhirat. Dan barangsiapa yang tidak memuliakannya, maka Allah akan menghinakannya.

[*] Yaitu sebuah hadits yang diriwayatkan oleh al-Imam at-Tirmidzi dari Abu Hurairah Radhiyallahu anhu, ia berkata, “Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

رَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ ذُكِرْتُ عِنْدَهُ فَلَمْ يُصَلِّ عَلَيَّ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ دَخَلَ عَلَيْهِ رَمَضَانَ ثُمَّ انْسَلَخَ قَبْلَ أَنْ يُغْفَرَ لَهُ وَرَغِمَ أَنْفُ رَجُلٍ أَدْرَكَ عِنْدَهُ أَبَوَاهُ الْكِبَرَ فَلَمْ يُدْخِلاَهُ الْجَنَّةَ.
“Merugilah orang yang disebutkan namaku (nama Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam) di hadapannya, tetapi ia tidak mau bershalawat kepadaku. Merugilah orang yang masuk Ramadhan, kemudian Ramadhan itu berlalu sebelum dosa-dosanya diampuni. Dan merugilah seorang yang mendapatkan kedua orang tuanya di waktu tua (lanjut usia), tetapi keduanya tidak dapat menyebabkannya masuk Surga.”

‘Abdurrahman (salah satu perawi) berkata: “Dan aku menyangka bahwa ia berkata, ‘Atau salah satunya.’” (Jaami’ at-Tirmidzi, bab ad-Da’awaat (X/372 no. 3545). Al-Imam at-Tirmidzi berkata, “Hadits ini hasan gharib, dari riwayat ini.” Syaikh al-Albani berkata, “Hasan shahih.” (Shahiih Sunan at-Tirmidzi III/177). Lihat pula catatan pinggir kitab Misykaatul Mashaabiih karya Syaikh al-Albani (I/292).

Begitupula bulan Ramadhan yang merupakan bulan yang dimuliakan, Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِي أُنْزِلَ فِيهِ الْقُرْآنُ هُدًى لِلنَّاسِ وَبَيِّنَاتٍ مِنَ الْهُدَىٰ وَالْفُرْقَانِ ۚ فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ ۖ وَمَنْ كَانَ مَرِيضًا أَوْ عَلَىٰ سَفَرٍ فَعِدَّةٌ مِنْ أَيَّامٍ أُخَرَ ۗ يُرِيدُ اللَّهُ بِكُمُ الْيُسْرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ الْعُسْرَ وَلِتُكْمِلُوا الْعِدَّةَ وَلِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) al-Qur-an sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang haq dan yang bathil). Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, dan barang-siapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain. Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu. Dan hendaklah kamu mengagungkan Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” [Al-Baqarah: 185]

Maka, barangsiapa yang menemukan kesempatan untuk memuliakannya dengan melakukan qi-yaamul lail (Tarawih) dengan keikhlasan, tetapi dia tidak mengambil kesempatan itu, maka Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menghinakannya.

Memuliakan kedua orang tua berarti memuliakan Allah Subhanahu wa Ta’ala, karena itu Allah Subhanahu wa Ta’ala menghubungkan berbuat baik kepada keduanya dengan bertauhid kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala di dalam firman-Nya:

وَقَضَىٰ رَبُّكَ أَلَّا تَعْبُدُوا إِلَّا إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا ۚ إِمَّا يَبْلُغَنَّ عِنْدَكَ الْكِبَرَ أَحَدُهُمَا أَوْ كِلَاهُمَا فَلَا تَقُلْ لَهُمَا أُفٍّ وَلَا تَنْهَرْهُمَا وَقُلْ لَهُمَا قَوْلًا كَرِيمًا
“Dan Rabb-mu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya. Jika salah seorang di antara keduanya atau kedua-duanya sampai berumur lanjut dalam pemeliharaanmu, maka sekali-kali janganlah kamu mengatakan kepada keduanya perkataan ‘ah’ dan janganlah kamu membentak mereka dan ucapkan-lah kepada mereka perkataan yang mulia.” [Al-Israa’: 23]

Orang yang diberikan kesempatan untuk berbuat baik kepada keduanya, terutama di waktu tua (lanjut usia), sesungguhnya mereka berdua di rumahnya bagaikan daging di atas kayu potongan, dan tidak ada yang meladeninya kecuali ia, jika anak itu tidak menggunakan kesempatan ini, maka pantaslah jika dia dihinakan dan direndahkan kedudukannya. [Lihat Syarah ath-Thaibi III/1044]


Semoga dengan karunia Allah Subhanahu wa Ta’ala kita tidak di-masukkan oleh-Nya ke dalam tiga golongan ini. Aamiin yaa Dzal Jalaali wal Ikraam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar