Sabtu, 27 Mei 2017

Keringanan Menjamak Shalat Ketika Mukim

Pertama: Menjama’ Shalat Ketika Hujan Lebat.

Bolehnya menjamak ketika turun hujan didasari beberapa riwayat yang bersumber dari Sahabat maupun tabi’in (murid sahabat) serta tabi’ut tabi’in (murid tabi’in) berikut ini:

Dari Ibnu ‘Abbas, ia berkata,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” (HR. Muslim no. 705)

Ibnu Taimiyah menjelaskan bahwa jamak shalat yang disebutkan oleh Ibnu ‘Abbas bukan karena sebab ini dan sebab itu. Oleh karenanya Imam Ahmad berdalil bolehnya menjamak shalat karena beberapa sebab tersebut karena jika dalam keadaan genting atau hujan atau safar saja dibolehkan jamak, maka lebih-lebih lagi ada sebab itu. Jadi, jamak karena sebab-sebab tadi lebih pantas ada karena sebab lainnya. Walaupun dalam hadits Ibnu ‘Abbas tidak disebutkan jamak karena hujan, namun jika dipahami jamak karena hujan lebih-lebih dibolehkan. Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 76.

Dari Nafi’ (seorang tabi’in) dia menceritakan bahwasanya Abdulloh ibnu Umar dahulu apabila para pemimpin pemerintahan (umara’) menjamak antara sholat Maghrib dengan ‘isyak pada saat hujan turun maka beliaupun turut menjamak bersama mereka.

Dari Musa bin ‘Uqbah, dia menceritakan bahwasanya dahulu Umar bin Abdul ‘Aziz pernah menjamak antara sholat Maghrib dengan sholat ‘Isyak apabila turun hujan, dan sesungguhnya Sa’id ibnul Musayyib (tabi’in), Urwah bin Zubeir, Abu Bakar bin Abdurrohman serta para pemuka (ahli ilmu) pada zaman itu senantiasa sholat bersama mereka dan tidak mengingkari perbuatan tersebut.

Hisam bin Urwah mengatakan,
أَنَّ أَبَاهُ عُرْوَةَ وَسَعِيْدَ بْنَ المُسَيَّبَ وَأَبَا بَكْرٍ بْنَ عَبْدِ الرَّحْمَنِ بْنَ الحَارِثِ بْنَ هِشَام بْنَ المُغِيْرَةَ المَخْزُوْمِي كَانُوْا يَجْمَعُوْنَ بَيْنَ المَغْرِبِ وَالعِشَاءِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ إِذَا جَمَعُوْا بَيْنَ الصَّلاَتَيْنِ وَلاَ يُنْكِرُوْنَ ذَلِكَ
Sesungguhnya ayahnya (Urwah), Sa’id bin Al Musayyib, dan Abu Bakar bin Abdur Rahman bin Al Harits bin Hisyam bin Al Mughiroh Al Makhzumi biasa menjama’ shalat Maghrib dan Isya’ pada malam yang hujan apabila imam menjama’nya. Dan mereka tidak mengingkari hal tersebut.” (HR. Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 3: 169). Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih. Lihat Irwa’ul Gholil no. 583)

Ibnu Taimiyah rahimahullah mengatakan, “Atsar semisal ini menunjukkan bahwa jamak ketika turun hujan adalah telah diamalkan sejak dulu di Madinah pada masa sahabat dan tabi’in. Dan tidak dinukil bahwa seorang sahabat dan tabi’in mengingkarinya. Dan bisa dipahami bahwa sebenarnya hal itu sudah mutawatir (dinukil dengan riwayat yang banyak).” (Lihat Majmu’ Al Fatawa, 24: 83).

Patokan Bolehnya Menjamak Shalat Ketika Hujan

Dalam Al Mughni disebutkan, ”Hujan yang membolehkan seseorang menjama’ shalat adalah hujan yang bisa membuat pakaian basah kuyup dan mendapatkan kesulitan jika harus berjalan dalam kondisi hujan semacam itu. Adapun hujan yang rintik-rintik dan tidak begitu deras, maka tidak boleh untuk menjama’ shalat ketika itu.” Lihat Al Mughni, 2: 117.

Dalam Kifayatul Akhyar disebutkan bahwa orang yang tidak bepergian jauh dibolehkan untuk menjama’ shalat pada waktu pertama dari shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya’ dikarenakan hujan, menurut pendapat yang benar. Meski ada juga yang berpendapat bahwa menjama’ karena hujan hanya berlaku untuk shalat Maghrib dan Isya’ karena kondisi ketika malam itu memang lebih merepotkan. Hukum ini disyaratkan jika shalat dikerjakan di suatu tempat yang seandainya orang itu berangkat ke sana akan kehujanan sehingga pakaiannya menjadi basah. Demikian persyaratannya menurut Ar Rafi’i dan Imam Nawawi.

Sedangkan Qodhi Husain memberi syarat tambahan yaitu alas kaki juga menjadi basah sebagaimana pakaian. Al Mutawalli juga menyebutkan hal yang serupa dalam kitab At Tatimmah.  Lihat Kifayatul Akhyar, hal. 206-207.

Lebih Utama Mana: Jamak Taqdim Ataukah Ta’khir ?

Syaikh Muhammad bin Sholeh Al ‘Utsaimin mengatakan: “Yang lebih utama adalah melakukannya dengan jamak taqdim (di waktu sholat yang pertama/maghrib -pent); karena yang demikian itu lebih mencerminkan sikap lemah lembut kepada manusia, karena itulah anda akan jumpai bahwa orang-orang semuanya pada saat hujan turun tidak melakukan jamak kecuali dengan cara jamak taqdim.” (Syarhul Mumti’ halaman 563).

Bagaimana Kalau Hujan Berhenti di Tengah Sholat ‘Isyak ?

Memang apabila di awal pelaksanaan sholat ‘Isyak yang dijamak disyaratkan keadaan masih hujan, adapun apabila sholat ‘Isyak sudah dilakukan kemudian di tengah-tengah tiba-tiba hujan berhenti maka tidaklah disyaratkan hal itu terus menerus ada sampai selesainya sholat yang kedua (‘Isyak). Demikian pula berlaku untuk sebab yang lainnya. Misalnya apabila ada seseorang yang karena sakitnya terpaksa harus menjamak sholat kemudian tiba-tiba di tengah sholatnya sakit yang dideritanya menjadi hilang maka jamak yang dilakukannya tidak menjadi batal; karena keberadaan udzur secara terus menerus hingga selesainya (sholat) kedua tidaklah dipersyaratkan (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 574).

Bolehkah Orang Yang Sholat di Rumah Menjamak ?

Apabila hujan turun maka seorang muslim yang wajib menunaikan sholat jama’ah (baca: kaum lelaki) dibolehkan menjamak sholat (apabila dia bersama imam di masjid -pent) atau sholat di rumahnya (karena hujan termasuk uzdur/penghalang yang membolehkan untuk tidak menghadiri sholat jama’ah di masjid -pent).

Jamak tetap boleh dilakukan (di masjid) walaupun jalan yang dilaluinya untuk mencapai masjid sudah terlindungi dengan atap (sehingga tidak sulit baginya menghadiri jama’ah sholat ‘Isyak nantinya ketika hujan belum reda -pent) hal ini supaya dia tidak kehilangan (pahala) sholat berjama’ah.

Adapun apabila dia sholat di rumahnya karena sakit (atau karena udzur lain -pent) sehingga tidak bisa hadir di masjid maka dia tidak boleh menjamak; karena tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan jamak tersebut (karena kewajibannya sudah gugur dengan udzur-nya tersebut-pent). Adapun kaum wanita (yang ada di rumah), maka tidak boleh menjamak sholat karena hujan sebab tidak ada manfaat yang bisa dipetiknya dengan menjamak itu, dan karena mereka bukan termasuk orang yang diwajibkan menghadiri sholat berjama’ah. (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 560).

Berapa Jarak Antara Dua Sholat Yang Dijamak ?

Termasuk syarat dilakukannya sholat jamak ini adalah tidak boleh ada jeda waktu panjang yang memisahkan antara keduanya, sehingga harus dikerjakan secara berturut-turut. Meskipun dalam hal ini Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rohimahulloh tidak mempersyaratkan demikian, dan pendapat beliau cukup kuat. Namun yang lebih hati-hati adalah tidak menjamak apabila tidak bersambung/berurutan langsung. Jeda waktu yang diperbolehkan (menurut yang mempersyaratkannya) adalah hanya sekadar ukuran lamanya iqomah dikumandangkan (karena tidak ada lagi adzan sebelum sholat ‘Isyak -pent) atau seukuran waktu yang dibutuhkan untuk wudhu ringan.

Dan perlu ditambahkan pula bahwasanya kalau seandainya ada orang yang sesudah sholat Maghrib justeru mengerjakan sholat sunnah rowatib (ba’diyah maghrib) maka tidak ada lagi sholat jamak yang bisa dilakukannya karena ketika itu dia telah menjadikan sholat yang dilakukannya tadi (sunnah rowatib) sebagai pemisah antar keduanya (sholat Maghrib dan ‘Isyak) (Disarikan dari Syarhul Mumti’ halaman 567-569).

Kedua: Menjama’ Shalat Ketika Penuh Lumpur yang Merintangi Jalan

Dari Ibnu Abbas, beliau mengatakan kepada mu’adzin pada saat hujan,”Apabila engkau mengucapkan ’Asyhadu allaa ilaha illalloh, asyhadu anna Muhammadar Rasulullah’, maka janganlah engkau ucapkan ’Hayya ’alash sholaah’. Tetapi ucapkanlah ’Sholluu fii buyutikum’ [Sholatlah di rumah kalian]. Lalu perawi mengatakan,”Seakan-akan manusia mengingkari perkataan Ibnu Abbas tersebut”. Lalu Ibnu Abbas mengatakan,”Apakah kalian merasa heran dengan hal itu. Sungguh orang yang lebih baik dariku telah melakukan seperti ini. Sesungguhnya (shalat) Jum’at adalah suatu kewajiban. Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat) jika harus berjalan di tanah yang penuh lumpur.” [HR. Muslim no. 699]

Hadits ini menunujukkan bahwa hujan dan tanah yang berlumpur (karena sebelumnya hujan, pen) merupakan udzur (alasan) untuk tidak melakukan shalat jum’at. Hal ini dapat dilihat dari perkataan Ibnu Abbas di atas ”Namun aku tidak suka jika kalian merasa susah (berat)” yang merupakan illah (sebab) untuk meninggalkan shalat jum’at ketika hujan dan ketika tanah berlumpur (becek). Dan kedua hal ini termasuk kesulitan. (Lihat Al Jami’ Li Ahkamish Sholah, 2/434)

Oleh karena dalam shalat jum’at dibolehkan untuk ditinggalkan ketika jalan becek, maka begitu pula untuk shalat jama’ah lainnya. Maka becek (tanah berlumpur setelah turun hujan) merupakan alasan untuk menjama’ shalat atau meninggalkan shalat jama’ah.

Syaikh Ibnu Baz dalam fatwanya pernah mengatakan ketika menjawab sebuah pertanyaan, ”Yang terpenting adalah apabila di sana terdapat sesuatu yang menyulitkan untuk ke masjid baik hujan deras maupun jalan yang sulit dilewati karena adanya lumpur dan air (setelah turun hujan), maka boleh untuk menjama’ shalat dan ini tidaklah mengapa. Namun jika tidak dijama’, maka bagi mereka terdapat udzur untuk shalat di rumah-rumah mereka karena hujan dan adanya lumpur ketika berjalan. (Lihat Majmu’ Fatawa Ibnu Baz, 12/293)

Ketiga: Menjamak Shalat Ketika Angin Kencang Disertai Hawa Dingin

Di antara udzur (alasan) boleh menjama’ shalat dan tidak melakukan shalat jama’ah adalah adanya angin kencang disertai hawa dingin.

Sebagaimana diriwayatkan dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,”
كَانَ رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَ سَلَّمَ يُنَادِي مُنَادِيْهِ فِي اللَّيْلَةِ المَطِيْرَةِ أَوْ اللَّيْلَةِ البَارِدَةِ ذَاتَ الرِّيْحِ صَلُّوْا فِي رِحَالِكُمْ
Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam biasa mengumandangkan adzan ketika malam yang hujan dan malam yang dingin disertai angin kencang, lalu diucapkan ”shalatlah di rumah-rumah kalian”.” [HR. Ibnu Majah no. 937]

Lalu apa batasan angin yang kencang disertai hawa dingin?

Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin mengatakan, ”Yang dimaksudkan dengan angin kencang adalah angin yang di luar kebiasaan. Kalau angin cuma biasa-biasa saja (angin sepoi-sepoi, pen) maka tidak diperbolehkan untuk jama’. Dan yang dimaksudkan dengan angin yang membawa hawa dingin adalah angin yang menyulitkan manusia.” (Syarhul Mumthi’, 2/284)

Menjama’ pada kondisi ini dibolehkan apabila terpenuhi dua syarat yaitu:
[1] angin kencang,
[2] hawa dingin.

Ketika angin kencang, namun tidak disertai hawa dingin, maka tidak perlu ada menjama’ shalat. Juga ketika cuaca begitu dingin, namun tidak disertai angin kencang, tidak boleh pula menjama’ shalat karena kondisi sangat dingin bisa saja memakai pakaian tebal atau pakaian yang berlapis-lapis. Akan tetapi, jika ada angin kencang sehingga menerbangkan debu ke mana-mana, maka di sini barulah ada kesulitan dan diperbolehkan menjama’ shalat dalam kondisi semacam ini.

Keempat: Menjamak Shalat Karena Kesulitan

Dari Ibnu ’Abbas, beliau mengatakan,
جَمَعَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- بَيْنَ الظُّهْرِ وَالْعَصْرِ وَالْمَغْرِبِ وَالْعِشَاءِ بِالْمَدِينَةِ فِى غَيْرِ خَوْفٍ وَلاَ مَطَرٍ
”Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam pernah menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar serta Maghrib dan Isya di Madinah bukan karena keadaan takut dan bukan pula karena hujan.”

Dalam riwayat Waki’, ia berkata, ”Aku bertanya pada Ibnu ’Abbas mengapa Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau melakukan seperti itu agar tidak memberatkan umatnya.”

Dalam riwayat Mu’awiyah, ada yang berkata pada Ibnu ’Abbas, ”Apa yang Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam inginkan dengan melakukan seperti itu (menjama’ shalat)?” Ibnu ’Abbas menjawab, ”Beliau ingin tidak memberatkan umatnya.” [HR. Muslim no. 705]

Ahmad bin Abdul Halim Al Haroni –Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah- menjelaskan, “Para pekerja atau petani jika di suatu waktu mereka mengalami kesulitan, misalnya sulit mendapatkan air dan hanya diperoleh jauh sekali dari tempat shalat. Jika mereka menuju ke tempat tersebut untuk bersuci,  maka nanti akan hilanglah berbagai aktivitas yang seharusnya mereka jalanin. Dalam kondisi semacam ini, mereka boleh menjama’ shalat. Lebih baik mereka mengerjakan shalat Zhuhur di akhir waktu yaitu mendekati waktu ‘Ashar. Nantinya mereka menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar (yaitu jama’ suri), shalat Zhuhur dijama’ suri dengan dikerjakan di akhir waktu, sedangkan shalat ‘Asharnya tetap dikerjakan di awal waktu. Akan tetapi, mereka juga boleh cukup dengan tayamum jika memang harus memperoleh air yang tempatnya jauh. Mereka nanti bertayamum dan mengerjakan shalat di waktunya masing-masing. Namun yang lebih baik adalah melakukan jama’ suri seperti tadi dan tetap berwudhu dengan air, ini yang lebih afdhol (lebih utama). Walhamdulillah.” (Majmu’ Al Fatawa, 21/458)

Kelima : Menjamak Shalat Ketika Sakit

Ibnu Taimiyyah berkata, “Hadits-hadits seluruhnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjamak shalat dengan tujuan menghilangkan kesempitan dari umatnya. Oleh karena itu, dibolehkan untuk menjamak shalat dalam kondisi yang jika tidak jamak maka seorang itu akan berada dalam posisi sulit padahal kesulitan adalah suatu yang telah Allah hilangkan dari umat ini. Penjelasan di atas menunjukkan bahwa jamak karena sakit yang si sakit akan merasa kesulitan jika harus shalat pada waktunya masing-masing adalah suatu hal yang lebih layak lagi.” (Majmu’ Al Fatawa, 24/84)

Dalam kesempatan yang lain Syaikhul Islam menjelaskan,
”Orang yang menjamak shalat karena safar apakah dia diperbolehkan menjamak secara mutlak ataukah jamak itu hanya khusus bagi musafir. Imam Ahmad dalam masalah ini memiliki dua pendapat, baik ketika bepergian ataupun tidak bepergian. Oleh karena itu, Imam Ahmad menegaskan bolehnya jamak karena adanya kesibukkan (yang merepotkan untuk shalat pada waktunya masing-masing).

Al Qadhi Abu Ya’la mengatakan, ”Semua alasan yang menjadi sebab bolehnya meninggalkan shalat Jumat dan shalat jamaah adalah alasan yang membolehkan untuk menjamak shalat. Oleh karena itu, boleh menjamak shalat karena hujan, lumpur yang menghadang di jalan, anging yang kencing membawa hawa dingin menurut pendapat yang nampak pada Imam Ahmad. Demikian pula dibolehkan menjamak shalat bagi orang sakit, wanita yang mengalami istihadhah dan wanita yang menyusui (yang harus sering berganti pakaian karena dikencingi oleh anaknya)”. (Majmu’ Al Fatawa, 24/14)

:: Yang Mesti Diperhatikan Ketika Menjama’ Shalat ::

Jama’ shalat berarti menggabungkan dua shalat yaitu shalat Zhuhur dan ’Ashar atau Maghrib dan ’Isya di salah satu waktunya. Jika digabungkan di waktu awal (waktu Zhuhur dan Maghrib), maka disebut jama’ taqdim. Sedangkan apabila digabungkan di waktu akhir (waktu ’Ashar dan ’Isya’), maka disebut jama’ takhir. Dalam melaksanakan shalat jama’, ada beberapa point yang mesti diperhatikan sebagai berikut.

Pertama: Niat ketika jama’ apakah harus di awal?
Kedua: Bolehkah berselang di antara dua shalat jama’?

Tidak perlu adanya niat di awal ketika hendak mengerjakan shalat yang pertama. Maksudnya, boleh bagi yang ingin menjamak mengerjakan shalat zhuhur terlebih dahulu tanpa mesti ia berniat ingin menjama’ dengan shalat Ashar.

Boleh pula dalam menjama dua shalat, kedua shalat tersebut dilakukan tanpa ada selang waktu, artinya setelah menunaikan shalat zhuhur langsung dilanjutkan dengan shalat ’Ashar. Atau boleh juga menjama’ shalat Zhuhur dan ’Ashar dengan ada selang waktu. Kedua cara ini dibolehkan.

Dari Usamah bin Zaid radhiyallahu ’anhu, beliau berkata bahwa tatkala Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam bertolak dari ’Arofah. … Tatkala sampai di Muzdalifah, beliau berwudhu dan menyempurnakannya. Kemudian diserukan iqomah, lalu beliau shalat Maghrib. Setelah shalat Maghrib, para sahabat menderumkan unta mereka di tempat persinggahan. Lalu iqomah dikumandangkan kembali, kemudian shalat Isya. Dan tidak ada shalat di antara keduanya.” [HR. Bukhari no. 1672]

Hadits di atas menunjukkan bahwa sebelumnya para sahabat radhiyallahu ’anhum ajma’in tidak berniat untuk menjama’ shalat pada awal waktu. Sehingga ini menunjukkan benarnya penjelasan kami yang pertama di atas.

Hadits tersebut menunjukkan pula bolehnya menjama’ dua shalat dengan dengan ada selang waktu. Ketika selang waktu tersebut boleh diisi dengan aktifitas lainnya.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, ”Yang benar, tidak perlu dipersyaratkan tidak ada selang waktu antara dua shalat yang hendak dijamak, baik pada jamak takdim atau pun jamak takhir. Karena syari’at sendiri tidak membatasi hal ini. ” (Majmu’ Al Fatawa, 24/54)

Ketiga: Adzan cukup sekali, iqomah untuk masing-masing shalat

Dari Ibnu Mas’ud radhiyallahu ’anhu, beliau mengatakan,
إِنَّ الْمُشْرِكِينَ شَغَلُوا رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- عَنْ أَرْبَعِ صَلَوَاتٍ يَوْمَ الْخَنْدَقِ حَتَّى ذَهَبَ مِنَ اللَّيْلِ مَا شَاءَ اللَّهُ فَأَمَرَ بِلاَلاً فَأَذَّنَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الظُّهْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعَصْرَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْمَغْرِبَ ثُمَّ أَقَامَ فَصَلَّى الْعِشَاءَ
”Sesungguhnya orang-orang musyrik telah menyibukkan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam sehingga tidak bisa mengerjakan empat shalat ketika perang Khondaq hingga malam hari telah sangat gelabp Kemudian beliau shallallahu ’alaihi wa sallam memerintahkan Bilal untuk adzan. Kemudian Bilal iqomah dan beliau menunaikan shalat Dzuhur. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Ashar. Kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Maghrib. Dan kemudian iqomah lagi dan beliau menunaikan shalat Isya.” [HR. An Nasa’i no. 662]

Dalam riwayat Muslim disebutkan,
حَتَّى أَتَى الْمُزْدَلِفَةَ فَصَلَّى بِهَا الْمَغْرِبَ وَالْعِشَاءَ بِأَذَانٍ وَاحِدٍ وَإِقَامَتَيْنِ
Ketika beliau sampai ke Muzdalifah, beliau menjamak shalat Maghrib dan ’Isya dengan sekali adzan dan dua kali iqomah.” [HR. Muslim no. 1218]

Keempat: Mengerjakan shalat secara berurutan

Ketika ingin menjama’ dua shalat, maka disyaratkan dua shalat tersebut dilakukan secara berurutan sebagaimana urutan shalat lima waktu yang ada. Karena urutan tersebut telah ditetapkan oleh syari’at. Misalnya menjama’ shalat Zhuhur dan ‘Ashar, maka shalat yang dilakukan lebih dulu adalah shalat Zhuhur 4 raka’at, setelah itu shalat ‘Ashar 4 raka’at.

Akan tetapi, jika seseorang lupa atau tidak tahu, ia ingin melakukan jama’ takhir. Ketika ada yang mengerjakan shalat ‘Isya’, ia pun berniat shalat ‘Isya’ di belakang imam tersebut. Baru setelah menunaikan shalat ‘Isya, ia menunaikan shalat maghrib yang belum ia tunaikan. Apakah shalat seperti ini sah karena tidak berurutan?

Para pakar fiqih mengatakan, “Shalatnya tidak sah. Shalat ‘Isya yang ia lakukan tidak sah. Dia harus tetap melakukan shalat ‘Isya lagi setelah melakukan shalat maghrib.” (Penjelasan Syaikh Abu Malik dalam Shahih Fiqh Sunnah, 1/496)


Wallahua’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar